Rabu, 05 Mei 2010

Fatwa Muhammadiyah


Bunga Bank Haram, Mengapa Tidak?


Secara mengejutkan pada Munas ke-27 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (3/4) lalu, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank. Kalau pada tahun 1990 lalu Muhammadiyah juga mengharamkan bunga bank tetapi hanya khusus bank swasta, namun kali ini baik bank swasta maupun bank pemerintah semuanya haram.

Padahal sebelumnya Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa tentang keharamannya merokok, yang dinilai kontroversial terutama oleh para petani tembakau dan buruh rokok yang mayoritas umat Islam. Mereka beranggapan, jika rokok haram dan pabrik-pabrik rokok ditutup, terus mereka akan bekerja dimana atau hanya menjadi pengangguran.

Memang sebelumnya tahun 2003 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bunga bank haram. Dampak dari fatwa haram MUI ini sampai sekarang belum terasa secara signifikan. Pasalnya, umat Islam Indonesia yang mayoritas tetap menyimpan fulusnya di bank konvensional yang menggunakan sistem bunga, mereka belum bersedia mengalihkan dananya secara besar-besaran ke bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil (mudharabah). Maka tidaklah mengherankan jika hingga sekarang kontribusi bank syariah dalam perekonomian nasional tetaplah kecil hanya 3 persen, sementara sisanya 97 persen masih dikuasai perbankan konvensional yang menggunakan sistem bunga (riba).

Namun bagaimanapun, perbankan syariah tetap diuntungkan dengan keluarnya fatwa bunga bank haram dari Muhammadiyah tersebut. Menginggat organisasi Islam modern terbesar di dunia itu memiliki aset ratusan triliunan rupiah, termasuk hampir 100 perguruan tinggi di lingkungan Muhammadiyah, 12.000 sekolah sejak dari TK hingga SMA, termasuk ratusan rumah sakit dan dan panti asuhan serta tanah-tanah wakaf yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan demikian, jika nantinya ratusan triliun aset Muhammadiyah tersebut dialihkan ke bank syariah, niscaya pangsa pasar bank syariah pasti akan terdongkrak. Kalau sekarang hanya 3 persen dengan total aset sebesar Rp 80 triliun, nantinya bisa menjadi minimal 10 persen atau Rp 250 triliun lebih.

Apalagi saat ini rakyat Indonesia yang mayoritas Islam semakin mengetahui, kalau penguasaan asing di sektor keuangan terutama bank konvensional yang menyangkut kapasitas dan aset perbankan nasional sangatlah besar, hingga mencapai 55 persen atau Rp 1100 triliun. Namun anehnya, pemerintah sengaja tidak membatasi atau membiarkan kepemilikan asing di sektor perbankan, padahal negara-negara lain justru membatasinya.

Hal itu jelas berdampak pada pembuat kebijakan dan industri keuangan sulit mendorong penurunan kredit yang sangat diperlukan rakyat kecil, sementara bunga bank juga sulit diturunkan sebagai dampak dominasi asing tersebut. Selain itu menjadikan beberapa kebijakan BI tidak efektif mendorong pertumbuhan dan kepemilikan investor lokal.

Dengan tingginya bunga bank konvensional saat ini yang mencapai 10 persen, sementara bunga kredit konsumsi dan UMKM mencapai 16 persen yang menyebabkan para pengusaha kecil berfikir dua kali jika ingin memperoleh pinjaman, diharapkan akan menjadikan mereka beralih ke perbankan syariah, lembaga keuangan syariah atau ribuan baitul mal wa tamwil (BMT) yang tersebar di seluruh Indonesia. Pendirian BMT memang dimaksudkan untuk menolong para pengusaha kecil untuk berkembang tanpa dihantui oleh tingginya bunga bank konvensional. Pasalnya, BMT juga menggunakan sistem bagi hasil sebagaimana bank syariah.

Pro Kontra

Meski sudah jelas keharaman riba (bunga bank) yang terdapat dalam beberapa ayat Al Qur’an, namun perdebatan soal bunga bank masih sering terjadi. Mereka yang berpendapat bunga bank diperbolahkan, mengacu pada pemerintah Arab Saudi yang bertanggungjawab terhadap dua tempat suci di Makkah dan Madinah, ternyata masih membolehkan bank konvensional yang mengacu pada sistem perbankan internasional, beroperasi disamping bank syariah. Bahkan tidak hanya Arab Saudi yang menerapkan syariah Islam, hampir di seluruh negara Islam di Timur Tengah, bank konvensioanal tetap diperbolehkan beroperasi yang berdampingan dengan bank syariah.

Sedangkan di Indonesia, NU sebagai organisasi Islam tradisionil terbesar di dunia masih menganggap bunga bank haram adalah persoalan khilafiyah dan furuiyah, bukan persoalan prinsip. Hal itu mengacu pada hasil keputusan Muktamar NU ke -28 di Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta (1989). Menurut para ulama NU, ada tiga pendapat mengenai bunga bank. Pertama, bunga bank haram karena ada unsur spekulasi. Kedua, bunga bank halal karena adanya kesepakatan diantara kedua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati dan tanpa paksaan. Ketiga, bunga bank syubhat karena tidak jelas halal dan haramnya.

Konsisten
Sebenarnya jika dibandingkan para ulama yang mengharamkan dan menghalalkan bunga bank, jelas lebih banyak ulama yang mengharamkannya. Pasalnya, bunga bank jelas termasuk kategori riba yang diharamkan Islam, karena sudah jelas dalilnya dalam Al Qur’an (Surat Al Baqoroh Ayat 275-279, Surat Ali Imran Ayat 130, Surat An Nisa’ Ayat 161) serta beberapa Hadis Nabi Muhammad SAW.

Apalagi sejarah pendirian perbankan modern dunia, dimulai dari dua orang Yahudi bersaudara yang mendirikan bank pertama kali di Inggris yang dinamakan Bank of England pada abad ke 18 M. Sejak itulah bank dengan sistem riba berkembang di seluruh dunia hingga sekarang ini. Memang sejak dulu orang Yahudi dikenal suka makan hasil ribawi dengan model rentenir yang menyengsarakan orang banyak.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana sikap umat Islam Indonesia setelah keluarnya Fatwa MUI dan Muhammadiyah yang mengharamkan bunga bank ?
Pertama, umat Islam harus konsisten untuk menyimpan fulusnya di berbagai bank syariah dan lembaga keuangan syariah yang saat ini sudah tersebar di seluruh Indonesia yang menggunakan sistem mudharabah atau bagi hasil.

Kedua, jika ingin memperoleh kredit untuk usaha, umat Islam harus mendapatkannya dari perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah.
Ketiga, ormas-orms Islam harus konsisten, dimana wajib menaruh dananya dan memperoleh kredit dari perbankan syariah, jangan sampai dari perbankan konvensional.

Keempat, karena bunga bank dikaregorikan riba dan haram, jelas lebih banyak mudharatnya, sementara manfaatnya sama sekali tidak ada. Bahkan riba akan menjerumuskan pelakunya ke dalam siksaan di neraka kelak.

Kelima, dalam sejarahnya, bunga bank selalu menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi dan keuangan dunia seperti tahun 1930, 1997 dan terakhir tahun 2008 lalu. Dengan demikian, umat Islam harus bertekad mengganti sistem bunga bank yang dipelopori kaum Kapitalis dan Neoliberalis yang membuat kebangkrutan dengan sistem ekonomi syariah yang lebih mensejahterakan umat manusia, apalagi sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. (Abdul Halim)

Sumber
http://www.suara-islam.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

silakan tulis komentar anda disini