Rabu, 13 Oktober 2010

Akademi Islam Amerika Dibuka Lagi, Setengah Mahasiswanya Non-Muslim


Sebuah akademi Islam di Chicago yang sempat ditutup selama 10 tahun, dibuka kembali. Akademi yang kembali memulai aktivitasnya pada bulan lalu ini, sekarang memiliki mahasiswa yang setengahnya merupakan non-Muslim.

''Seluruh Amerika membutuhkan sebuah lembaga pemikiran Islam,'' ujar Ali Yurtsever, seorang mantan sarjana penelitian di Georgetown University yang kini menjadi pengawas pembukaan kembali Akademi Islam itu. ''Jika anda tidak memiliki perguruan tinggi Islam, maka orang-orang akan disesatkan, mereka akan mudah ditipu dan permusuhakan akan terus berkembang.''

Saat ini separuh dari siswa yang terdaftar di Akademi Islam Amerika itu merupakan non-Muslim. Terlepas dari asal-usul mahasiswanya, kampus itu tampaknya dibuka kembali untuk menciptakan ruang dialog dan diskusi. Profesor Ekmeleddin Ihsanoglu yang juga Sekjen OKI menjabat Ketua Dewan Pengawas perguruan tinggi itu.

Yurtsever mengatakan, meningkatnya sentimen anti-Islam tak lepas dari kurangnya pengetahuan mengenai Islam. Kampus ini memiliki kewajiban moral bagi Muslim Amerika untuk mengatasi masalah tersebut. ''Hari ini Muslim Amerika memiliki peran dan tugas untuk memimpin jalan melalui perilaku moral dan partisipasi aktif di dalam gerakan politik yang positip terhadap penciptaan masyarakat yang adil, damai, dan adil,'' tuturnya.

Akademi Islam Amerika didirikan pada 1881 sebagai perguruan tinggi swasta yang nirlaba. Kuliah di kampus ini memakan waktu selama empat tahun dengan jurusan bahasa Arab dan Studi Islam. Pada maret 1983, perguruan tinggi ini menempati sebuah gedung di Lake Shore Drive dan September 1983 memulai tahun akademik yang pertama.

Pada 1991, akademi ini diberi kewenangan untuk memberikan gelar Associate of Arts di samping gelar Bachelor of Arts yang sudah dimilikinya.
sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/10/08/139116-akademi-islam-amerika-dibuka-kembali-setengah-mahasiswanya-nonmuslim
Selengkapnya...

Selasa, 12 Oktober 2010

15 Langkah Efektif Untuk Menghafal Al Qur’an


Ditulis Oleh DR. Ahmad Zain An-Najah, M.A

Sesuatu yang paling berhak dihafal adalah Al Qur’an, karena Al Qur’an adalah Firman Allah, pedoman hidup umat Islam, sumber dari segala sumber hukum, dan bacaan yang paling sering dulang-ulang oleh manusia. Oleh Karenanya, seorang penuntut ilmu hendaknya meletakan hafalan Al Qur’an sebagai prioritas utamanya. Berkata Imam Nawawi : “ Hal Pertama ( yang harus diperhatikan oleh seorang penuntut ilmu ) adalah menghafal Al Quran, karena dia adalah ilmu yang terpenting, bahkan para ulama salaf tidak akan mengajarkan hadits dan fiqh kecuali bagi siapa yang telah hafal Al Quran. Kalau sudah hafal Al Quran jangan sekali- kali menyibukan diri dengan hadits dan fikih atau materi lainnya, karena akan menyebabkan hilangnya sebagian atau bahkan seluruh hafalan Al Quran. “()

( ) Imam Nawawi, Al Majmu’,( Beirut, Dar Al Fikri, 1996 ) Cet. Pertama, Juz : I, hal : 66

Di bawah ini beberapa langkah efektif untuk menghafal Al Qur’an yang disebutkan para ulama, diantaranya adalah sebagai berikut :

Langkah Pertama : Pertama kali seseorang yang ingin menghafal Al Qur’am hendaknya mengikhlaskan niatnya hanya karena Allah saja. Dengan niat ikhlas, maka Allah akan membantu anda dan menjauhkan anda dari rasa malas dan bosan. Suatu pekerjaan yang diniatkan ikhlas, biasanya akan terus dan tidak berhenti. Berbeda kalau niatnya hanya untuk mengejar materi ujian atau hanya ingin ikut perlombaan, atau karena yang lain.

Langkah Kedua : Hendaknya setelah itu, ia melakukan Sholat Hajat dengan memohon kepada Allah agar dimudahkan di dalam menghafal Al Qur’an. Waktu sholat hajat ini tidak ditentukan dan doa’anyapun diserahkan kepada masing-masing pribadi. Hal ini sebagaimana yang diriwayat Hudzaifah ra, yang berkata :كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا حزبه أمر صلى

“ Bahwasanya Rosulullah saw jika ditimpa suatu masalah beliau langsung mengerjakan sholat. “()

Adapun riwayat yang menyebutkan doa tertentu dalam sholat hajat adalah riwayat lemah, bahkan riwayat yang mungkar dan tidak bisa dijadikan sandaran. ()

Begitu juga hadist yang diriwayatkan Ibnu Abbas ra yang menjelaskan bahwa Rosulullah saw mengajarkan Ali bin Abu Thalib sholat khusus untuk meghafal Al Qur’an yang terdiri dari empat rekaat , rekaat pertama membaca Al Fatihah dan surat Yasin, rekaat kedua membaca surat Al Fatihah dan Ad Dukhan, rekaat ketiga membaca surat Al Fatihah dan Sajdah, dan rekaat keempat membaca surat Al Fatihah dan Al Mulk, itu adalah hadist maudhu’ dan tidak boleh diamalkan. Sebagian ulama lain mengatakan bahwa hadist tersebut adalah hadits dhoif . ()

Langkah Ketiga : Memperbanyak do’a untuk menghafal Al Qur’an. ()

Do’a ini memang tidak terdapat dalam hadits, akan tetapi seorang muslim bisa berdo’a menurut kemampuan dan bahasanya masing-masing. Mungkin anda bisa berdo’a seperti ini :

اللهم وفقني لحفظ القرآن الكريم ورزقني تلاوته أناء الليل وأطراف النهار على الوجه الذي يرضيك عنا يا أرحم الراحمين .

“ Ya Allah berikanlah kepada saya taufik untuk bisa menghafal Al Qur’an, dan berilah saya kekuatan untuk terus membacanya siang dan malam sesuai dengan ridhal dan tuntunan-Mu , wahai Yang Maha Pengasih “.

Langkah Keempat : Menentukan salah satu metode untuk menghafal Al Qur’an. Sebenarnya banyak sekali metode yang bisa digunakan untuk menghafal Al Qur’an, Masing-masing orang akan mengambil metode yang sesuai dengan dirinya. Akan tetapi di sini hanya akan disebutkan dua metode yang sering dipakai oleh sebagian kalangan, dan terbukti sangat efektif :
Metode Pertama : Menghafal per satu halaman ( menggunakan Mushaf Madinah ). Kita membaca satu lembar yang mau kita hafal sebanyak tiga atau lima kali secara benar, setelah itu kita baru mulai menghafalnya. Setelah hafal satu lembar, baru kita pindah kepada lembaran berikutnya dengan cara yang sama. Dan jangan sampai pindah ke halaman berikutnya kecuali telah mengulangi halaman- halaman yang sudah kita hafal sebelumnya. Sebagai contoh : jika kita sudah menghafal satu lembar kemudian kita lanjutkan pada lembar ke-dua, maka sebelum menghafal halaman ke-tiga, kita harus mengulangi dua halaman sebelumnya. Kemudian sebelum menghafal halaman ke-empat, kita harus mengulangi tiga halaman yang sudah kita hafal. Kemudian sebelum meghafal halaman ke-lima, kita harus mengulangi empat halaman yang sudah kita hafal. Jadi, tiap hari kita mengulangi lima halaman : satu yang baru, empat yang lama. Jika kita ingin menghafal halaman ke-enam, maka kita harus mengulangi dulu empat halaman sebelumnya, yaitu halaman dua, tiga, empat dan lima. Untuk halaman satu kita tinggal dulu, karena sudah terulangi lima kali. Jika kita ingin menghafal halaman ke-tujuh, maka kita harus mengulangi dulu empat halaman sebelumnya, yaitu halaman tiga, empat, lima, dan enam. Untuk halaman satu dan dua kita tinggal dulu, karena sudah terulangi lima kali, dan begitu seterusnya.

Perlu diperhatikan juga, setiap kita menghafal satu halaman sebaiknya ditambah satu ayat di halaman berikutnya, agar kita bisa menyambungkan hafalan antara satu halaman dengan halaman berikutnya.

Metode Kedua : Menghafal per- ayat , yaitu membaca satu ayat yang mau kita hafal tiga atau lima kali secara benar, setelah itu, kita baru menghafal ayat tersebut. Setelah selesai, kita pindah ke ayat berikutnya dengan cara yang sama, dan begiu seterusnya sampai satu halaman. Akan tetapi sebelum pindah ke ayat berikutnya kita harus mengulangi apa yang sudah kita hafal dari ayat sebelumnya. Setelah satu halaman, maka kita mengulanginya sebagaimana yang telah diterangkan pada metode pertama . ()

Untuk memudahkan hafalan juga, kita bisa membagi Al Qur’an menjadi tujuh hizb ( bagian ) :

1. Surat Al Baqarah sampai Surat An Nisa’
2. Surat Al Maidah sampai Surat At Taubah
3. Surat Yunus sampai Surat An Nahl
4. Surat Al Isra’ sampai Al Furqan
5. Surat As Syuara’ sampai Surat Yasin
6. Surat As Shoffat sampai Surat Al Hujurat
7. Surat Qaf sampai Surat An Nas

Boleh juga dimulai dari bagian terakhir yaitu dari Surat Qaf sampai Surat An Nas, kemudian masuk pada bagian ke-enam dan seterusnya.

Langkah Kelima : Memperbaiki Bacaan.

Sebelum mulai menghafal, hendaknya kita memperbaiki bacaan Al Qur’an agar sesuai dengan tajwid. Perbaikan bacaan meliputi beberapa hal, diantaranya :

a/ Memperbaiki Makhroj Huruf. Seperti huruf ( dzal) jangan dibaca ( zal ), atau huruf ( tsa) jangan dibaca ( sa’ ) sebagaimana contoh di bawah ini :

ثم —— > سم / الذين —- > الزين

b/ Memperbaiki Harakat Huruf . Seperti yang terdapat dalam ayat-ayat di bawah ini :

1/ وَإِذِ ابْتَلَى إِبْرَاهِيمَ رَبُّهُ بِكَلِمات ( البقرة : 124 ) —- > )إبراهيمُ ﴾

2/ وَكُنْت ُ عَلَيْهِمْ شَهِيدًا مَا دُمْتُ فِيهِمْ فَلَمَّا تَوَفَّيْتَنِي كُنْتَ أَنْتَ الرَّقِيبَ عَلَيْهِمْ ( المائدة : 116 )

وَكُنْت ُ < ——— > كُنْتَ

3/ أَفَمَنْ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ أَحَقُّ أَنْ يتَّبَعَ أَمْ مَنْ لَا يَهِدِّي إِلَّا أَنْ يُهْدَى ( ونس : 35 ) —- > أم من لا يَهْدِي

4/ رَبَّنَا أَرِنَا الَّذَيْنِ أَضَلَّانَا مِنَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ ( فصلت :29 ) —– > الَّذِين

5/ فَكَانَ عَاقِبَتَهُمَا أَنَّهُمَا فِي النَّارِ خَالِدَيْنِ فِيهَا وَذَلِكَ جَزَاءُ الظَّالِمِينَ ﴾ الحشر: 17) —– > خالدِين فيها

Langkah Keenam : Untuk menunjang agar bacaan baik, hendaknya hafalan yang ada, kita setorkan kepada orang lain, agar orang tersebut membenarkan jika bacaan kita salah. Kadang, ketika menghafal sendiri sering terjadi kesalahan dalam bacaan kita, karena kita tidak pernah menyetorkan hafalan kita kepada orang lain, sehingga kesalahan itu terus terbawa dalam hafalan kita, dan kita menghafalnya dengan bacaan tersebut bertahun-tahun lamanya tanpa mengetahui bahwa itu salah, sampai orang lain yang mendengarkannya akhirnya memberitahukan kesalahan tersebut.

Langkah Ketujuh : Faktor lain agar bacaan kita baik dan tidak salah, adalah memperbanyak untuk mendengar kaset-kaset bacaan Al Qur’an murattal dari syekh yang mapan dalam bacaannya. Kalu bisa, tidak hanya sekedar mendengar sambil mengerjakan pekerjaan lain, akan tetapi mendengar dengan serius dan secara teratur. Untuk diketahui, akhir-akhir ini – alhamdulillah – banyak telivisi-telelivisi parabola yang menyiarkan secara langsung pelajaran Al Qur’an murattal dari seorang syekh yang mapan, diantaranya adalah acara di televisi Iqra’ . Tiap pekan terdapat siaran langsung pelajaran Al Qur’an yang dipandu oleh Syekh Aiman Ruysdi seorang qari’ yang mapan dan masyhur, kitapun bisa menyetor bacaan kita kepada syekh ini lewat telpun. Rekaman dari acara tersebut disiarkan ulang setiap pagi. Selain itu, terdapat juga di channel ” Al Majd “, dan channel- channel televisi lainnya. Acara-acara tersebut banyak membantu kita di dalam memperbaiki bacaan Al Qur’an.

Langkah Kedelapan : Untuk menguatkan hafalan, hendaknya kita mengulangi halaman yang sudah kita hafal sesering mungkin, jangan sampai kita sudah merasa hafal satu halaman, kemudian kita tinggal hafalan tersebut dalam tempo yang lama, hal ini akan menyebabkan hilangnya hafalan tersebut. Diriwayatkan bahwa Imam Ibnu Abi Hatim, seorang ahli hadits yang hafalannya sangat terkenal dengan kuatnya hafalannya. Pada suatu ketika, ia menghafal sebuah buku dan diulanginya berkali-kali, mungkin sampai tujuh puluh kali. Kebetulan dalam rumah itu ada nenek tua. Karena seringnya dia mengulang-ulang hafalannya, sampai nenek tersebut bosan mendengarnya, kemudian nenek tersebut memanggil Ibnu Abi Hatim dan bertanya kepadanya : Wahai anak, apa sih yang sedang engkau kerjakan ? “ Saya sedang menghafal sebuah buku “ , jawabnya. Berkata nenek tersebut : “ Nggak usah seperti itu, saya saja sudah hafal buku tersebut hanya dengan mendengar hafalanmu.” . “ Kalau begitu, saya ingin mendengar hafalanmu “ kata Ibnu Abi Hatim, lalu nenek tersebut mulai mengeluarkan hafalannya. Setelah kejadian itu berlalu setahun lamanya, Ibnu Abi Hatim datang kembali kepada nenek tersebut dan meminta agar nenek tersebut menngulangi hafalan yang sudah dihafalnya setahun yang lalu, ternyata nenek tersebut sudah tidak hafal sama sekali tentang buku tersebut, dan sebaliknya Ibnu Abi Hatim, tidak ada satupun hafalannya yang lupa. () Cerita ini menunjukkan bahwa mengulang-ulang hafalan sangatlah penting. Barangkali kalau sekedar menghafal banyak orang yang bisa melakukannya dengan cepat, sebagaimana nenek tadi. Bahkan kita sering mendengar seseorang bisa menghafal Al Qur’an dalam hitungan minggu atau hitungan bulan, dan hal itu tidak terlalu sulit, akan tetapi yang sulit adalah menjaga hafalan dan mengulanginya secara kontinu.

Langkah Kesembilan : Faktor lain yang menguatkan hafalan adalah menggunakan seluruh panca indra yang kita miliki. Maksudnya kita menghafal bukan hanya dengan mata saja, akan tetapi dibarengi dengan membacanya dengan mulut kita, dan kalau perlu kita lanjutkan dengan menulisnya ke dalam buku atau papan tulis. Ini sangat membantu hafalan seseorang. Ada beberapa teman dari Marokko yang menceritakan bahwa cara menghafal Al Qur’an yang diterapkan di sebagian daerah di Marokko adalah dengan menuliskan hafalannya di atas papan kecil yang dipegang oleh masing-masing murid, setelah mereka bisa menghafalnya di luar kepala, baru tulisan tersebut dicuci dengan air.

Langkah Kesepuluh : Menghafal kepada seorang guru.

Menghafal Al Qur’an kepada seorang guru yang ahli dan mapan dalam Al Qur’an adalah sangat diperlukan agar seseorang bisa menghafal dengan baik dan benar. Rosulullah saw sendiri menghafal Al Qur’an dengan Jibril as, dan mengulanginya pada bulan Ramadlan sampai dua kali katam.

Langkah Kesebelas : Menggunakan satu jenis mushaf Al Qur’an dan jangan sekali-kali pindah dari satu jenis mushaf kepada yang lainnya. () Karena mata kita akan ikut menghafal apa yang kita lihat. Jika kita melihat satu ayat lebih dari satu posisi, jelas itu akan mengaburkan hafalan kita. Masalah ini, sudah dihimbau oleh salah seorang penyair dalam tulisannya :

العين تحفظ قبل الأذن ما تبصر فاختر لنفسك مصحف عمرك الباقي .

“ Mata akan menghafal apa yang dilihatnya- sebelum telinga- , maka pilihlah satu mushaf untuk anda selama hidupmu. “()

Yang dimaksud jenis mushaf di sini adalah model penulisan mushaf. Di sana ada beberapa model penulisan mushaf, diantaranya adalah : Mushaf Madinah atau terkenal dengan Al Qur’an pojok, satu juz dari mushaf ini terdiri dari 10 lembar, 20 halaman, 8 hizb, dan setiap halaman dimulai dengan ayat baru. Mushaf Madinah ( Mushaf Pojok ) ini paling banyak dipakai oleh para pengahafal Al Qur’an, banyak dibagi-bagikan oleh pemerintah Saudi kepada para jama’ah haji. Cetakan-cetakan Al Qur’an sekarang merujuk kepada model mushaf seperti ini. Dan bentuk mushaf seperti ini paling baik untuk dipakai menghafal Al Qur’an.

Disana ada model lain, seperti mushaf Al Qur’an yang dipakai oleh sebagain orang Mesir, ada juga mushaf yang dipakai oleh sebagain orang Pakistan dan India, bahkan ada model mushaf yang dipakai oleh sebagian pondok pesantren tahfidh Al Qur’an di Indonesia yang dicetak oleh Manar Qudus , Demak.

Langkah Keduabelas : Pilihlah waktu yang tepat untuk menghafal, dan ini tergantung kepada pribadi masing-masing. Akan tetapi dalam suatu hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, disebutkan bahwasanya Rosulullah saw bersabda :

إن الدين يسر ، ولن يشاد الدين أحد إلا غلبه ، فسددوا وقاربوا و أبشروا ، واستعينوا بالغدوة والروحة وشئ من الدلجة

“ Sesungguhnya agama ini mudah, dan tidak ada yang mempersulit diri dalam agama ini kecuali dia akan capai sendiri, makanya amalkan agama ini dengan benar, pelan-pelan, dan berilah kabar gembira, serta gunakan waktu pagi, siang dan malam ( untuk mengerjakannya ) “ ( HR Bukhari )

Dalam hadist di atas disebutkan waktu pagi ,siang dan malam, artinya kita bisa menggunakan waktu-waktu tersebut untuk menghafal Al Qur’an. Sebagai contoh : di pagi hari, sehabis sholat subuh sampai terbitnya matahari, bisa kita gunakan untuk menghafal Al Qur’an atau untuk mengulangi hafalan tersebut, waktu siang siang, habis sholat dluhur, waktu sore habis sholat Ashar, waktu malam habis sholat Isya’ atau ketika melakukan sholat tahajud dan seterusnya.

Langkah Ketigabelas : Salah satu waktu yang sangat tepat untuk melakukan pengulangan hafalan adalah waktu ketika sedang mengerjakan sholat –sholat sunnah, baik di masjid maupun di rumah. Hal ini dikarenakan waktu sholat, seseorang sedang konsentrasi menghadap Allah, dan konsentrasi inilah yang membantu kita dalam mengulangi hafalan. Berbeda ketika di luar sholat, seseorang cenderung untuk bosan berada dalam satu posisi, ia ingin selalu bergerak, kadang matanya menengok kanan atau kiri, atau kepalanya akan menengok ketika ada sesuatu yang menarik, atau bahkan kawannya akan menghampirinya dan mengajaknya ngobrol . Berbeda kalau seseorang sedang sholat, kawannya yang punya kepentingan kepadanya-pun terpaksa harus menunggu selesainya sholat dan tidak berani mendekatinya, dan begitu seterusnya.

Langkah Ketigabelas : Salah satu faktor yang mendukung hafalan adalah memperhatikan ayat-ayat yang serupa ( mutasyabih ) . Biasanya seseorang yang tidak memperhatikan ayat-ayat yang serupa ( mutasyabih ), hafalannya akan tumpang tindih antara satu dengan lainnya. Ayat yang ada di juz lima umpamanya akan terbawa ke juz sepuluh. Ayat yang mestinya ada di surat Surat Al-Maidah akan terbawa ke surat Al-Baqarah, dan begitu seterusnya. Di bawah ini ada beberapa contoh ayat-ayat serupa ( mutasyabihah ) yang seseorang sering melakukan kesalahan ketika menghafalnya :

- ﴿ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ ﴾ البقرة 173 < ———— > ﴿ وَمَا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ ) المائدة 3 ، والأنعام 145، و النحل 115

- ( ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير الحق ) البقرة : 61

( إن الذين يكفرون بآيات اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّين بغير حق ) آل عمران : 21

( ذلِكَ بِأَنَّهُمْ كَانُوا يَكْفُرُونَ بِآيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ الأنبياء بغير حق ) آل عمرن : 112

Untuk melihat ayat –ayat mutasyabihat seperti ini secara lebih lengkap bisa dirujuk buku – buku berikut :

* Duurat At Tanzil wa Ghurrat At Ta’wil fi Bayan Al Ayat Al Mutasyabihat min Kitabillahi Al Aziz , karya Al Khatib Al Kafi.
* Asrar At Tikrar fi Al Qur’an, karya : Mahmud bin Hamzah Al Kirmany.
* Mutasyabihat Al Qur’an, Abul Husain bin Al Munady
* ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al Qur’an, karya Abu Dzar Al Qalamuni

Langkah Kelimabelas : Setelah hafal Al Qur’an, jangan sampai ditinggal begitu saja. Banyak dari teman-teman yang sudah menamatkan Al Qur’an di salah satu pondok pesantren, setelah keluar dan sibuk dengan studinya yang lebih tinggi, atau setelah menikah atau sudah sibuk pada suatu pekerjaan, dia tidak lagi mempunyai program untuk menjaga hafalannya kembali, sehingga Al-Qur’an yang sudah dihafalnya beberapa tahun di pesantren akhirnya hanya tinggal kenangan saja. Setelah ditinggal lama dan sibuk dengan urusannya, ia merasa berat untuk mengembalikan hafalannya lagi. Fenomena seperti sangat banyak terjadi dan hal itu sangat disayangkan sekali. Boleh jadi, ia mendapatkan ijazah sebagai seorang yang bergelar ” hafidh ” atau ” hafidhah “, akan tetapi jika ditanya tentang hafalan Al- Qur’an, maka jawabannya adalah nihil.

Yang paling penting dalam hal ini bukanlah menghafal, karena banyak orang bisa menghafal Al Qur’an dalam waktu yang sangat singkat, akan tetapi yang paling penting adalah bagaimana kita menjaga hafalan tersebut agar tetap terus ada dalam dada kita. Di sinilah letak perbedaan antara orang yang benar-benar istiqamah dengan orang yang hanya rajin pada awalnya saja. Karena, untuk menjaga hafalan Al Qur’an diperlukan kemauan yang kuat dan istiqamah yang tinggi. Dia harus meluangkan waktunya setiap hari untuk mengulangi hafalannya. Banyak cara untuk menjaga hafalan Al Qur’an, masing-masing tentunya memilih yang terbaik untuknya. Diantara cara untuk menjaga hafalan Al Qur’an adalah sebagai berikut :

* Mengulangi hafalan menurut waktu sholat lima waktu. Seorang muslim tentunya tidak pernah meninggalkan sholat lima waktu, hal ini hendaknya dimanfaatkan untuk mengulangi hafalannya. Agar terasa lebih ringan, hendaknya setiap sholat dibagi menjadi dua bagian, sebelum sholat dan sesudahnya. Sebelum sholat umpamanya :i sebelum adzan, dan waktu antara adzan dan iqamah. Apabila dia termasuk orang yang rajin ke masjid, sebaiknya pergi ke masjid sebelum adzan agar waktu untuk mengulangi hafalannya lebih panjang. Kemudian setelah sholat, yaitu setelah membaca dzikir ba’da sholat atau dzikir pagi pada sholat shubuh dan setelah dzkir sore setelah sholat Ashar. Seandainya saja, ia mampu mengulangi hafalannya sebelum sholat sebanyak seperempat juz dan sesudah sholat seperempat juz juga, maka dalam satu hari dia bisa mengulangi hafalannya sebanyak dua juz setengah. Kalau bisa istiqamah seperti ini, maka dia bisa menghatamkan hafalannya setiap dua belas hari, tanpa menyita waktunya sama sekali. Kalau dia bisa menyempurnakan setengah juz setiap hari pada sholat malam atau sholat-sholat sunnah lainnya, berarti dia bisa menyelesaikan setiap harinya tiga juz, dan bisa menghatamkan Al Qur’an pada setiap sepuluh hari sekali. Banyak para ulama dahulu yang menghatamkan hafalannya setiap sepuluh hari sekali.
* Ada sebagian orang yang mengulangi hafalannya pada malam saja, yaitu ketika ia mengerjakan sholat tahajud. Biasanya dia menghabiskan sholat tahajudnya selama dua jam. Cuma kita tidak tahu, selama dua jam itu berapa juz yang ia dapatkan. Menurut ukuran umum, kalau hafalannya lancar, biasanya ia bisa menyelesaikan satu juz dalam waktu setengah jam. Berarti, selama dua jam dia bisa menyelesaikan dua sampai tiga juz dengan dikurangi waktu sujud dan ruku.
* Ada juga sebagian teman yang mengulangi hafalannya dengan cara masuk dalam halaqah para penghafal Al Qur’an. Kalau halaqah tersebut berkumpul setiap tiga hari sekali, dan setiap peserta wajib menyetor hafalannya kepada temannya lima juz berarti masing-masing dari peserta mampu menghatamkan Al Qur’an setiap lima belas hari sekali. Inipun hanya bisa terlaksana jika masig-masing dari peserta mengulangi hafalannya sendiri-sendiri dahulu.

( ) Hadist riwayat Abu Daud ( no : 1319 ), dishohihkan oleh Syekh Al Bani dalam Shohih Sunan Abu Daud , juz I, hal. 361

( ) Untuk mengetahui secara lebih lengkap tentang derajat hadits tersebut bisa dirujuk : Abu Umar Abdullah bin Muhammad Al Hamadi, Al Asinatu Al Musyri’atu fi At Tahdhir min As Solawat Al Mubtadi’ah, ( Kairo, Maktabah At Tabi’in, 2002 ) Cet Pertama, hal. 97 -120

( ) Ibid, hal.21-39

( ) Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Ashal Nidham Li Hifdhi Al Qur’an, ( Kairo, Maktabah Al Islamiyah, 2002 ) Cet. Ke-Tiga, Hal. 13

( ) Ali bin Umar Badhdah, Kaifa Tahfadu Al Qur’an, hal. 6

( ) Ibid. hal 12

( ) Abu Dzar Al Qalamuni, ‘Aunu Ar Rahman fi Hifdhi Al Qur’an, ( Kairo, Dar Ibnu Al Haitsam, 1998 ) Cet Pertama, hal.16

( ) Abu Abdur Rahman Al Baz Taufiq, Op. Cit, Hal. 15
sumber: http://ahmadzain.com/index.php?option=com_content&task=view&id=136&Itemid=70
Selengkapnya...

Subhanallah, Sekolah Katolik di Lancashire Jadi Sekolah Muslim


Sebuah sekolah dasar Katolik di kota Lanchashire, Inggris, mengkonversi diri menjadi sekolah Muslim. Ini merupakan kali pertama sebuah sekolah "pindah keyakinan" di Inggris.

Sejak satu dekade lalu, Sacred Heart RC Primary School, nama sekolah itu, mendidik anak-anak secara Katolik di Blackburn, salah satu sudut di Lanchashire. Dengan 91 siswa pada awal pembukaan, sekolah ini berkembang dan menyurut dengan pesat. Pada awal tahun ini, hanya tiga siswa yang mendaftarkan diri di sekolah ini.

Akibatnya, Keuskupan Salford - yang bertanggung jawab untuk menjalankan sekolah - telah menyimpulkan tidak lagi tepat bagi Gereja Katolik untuk tetap mengoperasikan sekolah ini. Murid sekolah selama ini sebagian besar dari kelompok etnis minoritas. Secara keseluruhan, sekitar 97 siswa sebelumnya adalah Muslim. Mereka kemudian berkonsultasi dengan masjid lokal, untuk mengambil alih sekolah. Kebetulan, di dekat sekolah itu sudah ada sekolah yang mapan dan sukses, yaitu sekolah menengah Tauheedul Islam Girls. Sekolah ini tercatat memiliki 383 murid. Sekolah ini telah berulang kali tercatat dalam 10 sekolah negeri top non-selektif berdasarkan kinerja ujian akhir tahun.

Tidak dijelaskan bagaimana model kerjasama setelah sekolah itu dikonversi sebagai sekolah Muslim. "Apakah ini berarti menjalankannya sebagai sekolah agama Islam atau dalam kemitraan dengan lembaga lain, itu belum ditentukan," ujar seorang yang dekat dengan Keuskupan Salford.

Menurut laporan yang disampaikan kepada Blackburn, jika Sacred Heart menjadi sebuah sekolah Islam itu akan "memberikan keragaman meningkat... Dan menawarkan sebuah sekolah iman yang sesuai dengan penduduk kota."
sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-mancanegara/10/09/27/136693-subhanallah-sekolah-katolik-di-lancashire-berubah-jadi-sekolah-muslim
Selengkapnya...

Senin, 16 Agustus 2010

Air Mata Emosi

Dari kecil hingga dewasa airmata sudah biasa membasahi pipi. Kita menangis mungkin kerana pelbagai hal dan tujuan sesuai dengan kata imam ibnu qayyim yang tangisan itu mungkin kerana kasih sayang & kelembutan hati atau kerana rasa takut.atau kerana cinta atau kerana gembira atau kerana menghadapi penderitaan atau kerana terlalu sedih atau kerana terasa hina dan lemah. Tangisan juga katanya lagi mungkin berpunca untuk mendapat belas kasihan orang dan ada juga kerana mengikut-ikut orang menangis, tak kurang juga yang pura-pura menangis. Tangisan hari ini bukan satu perkara yang aneh dan bukan juga satu perkara yang pelik jika tangisan dikaitkan dengan orang lelaki. Hari ini terlalu ramai yang ‘berasa’ insaf dengan tangisan. Kita mungkin tersentuh dengan kata-kata lalu mengalirlah airmata. Hari ini juga sudah terlampau banyak program yang berteraskan airmata.

Saya pernah bertemu dengan seorang bapa yang menceritakan yang anaknya telah mengikuti satu kem motivasi. Katanya kem itu begitu hebat kerana dapat membuat anaknya menangis, cuma katanya dia tidak sehebat motivator tersebut untuk membuat anaknya sering menangis. Saya bertanya kepada sibapa, mengapakah anaknya menangis, lalu dia menjawab yang anaknya insaf setelah beberapa hari diberi nasihat dan sewaktu menjemputnya pulang, anaknya begitu kuat tangisannya, dan memeluknya dan memohon ampun atas kesalahannya. Itu satu perkara yang bagus, namun keluhnya, anaknya kembali kepada perangai asal selang beberapa minggu selepas itu. Dia berfikir bagaimana untuk membuatkan anaknya berasa insaf. Saya tidak memberi komen apa pun kerana saya kurang gemar memberi komen jika tidak diminta. Saya mempunyai pandangan berbeza tentang hal ini. Rancangan realiti TV AF8 baru sahaja melabuhkan tirai. Dalam kesibukan waktu saya dapat juga menonton satu rancangan diari AF8 yang mana dalam episod tersebut ibu-ibu pelajar dipanggil masuk sempena hari ibu. Sebelum para ibu dibawa masuk, pelajar-pelajar telah diminta mengingati peristiwa yang mereka lalui bersama ibu mereka yang akhirnya saya melihat isak tangis berlaku. Dalam isak tangis, para ibu dipanggil masuk untuk bertemu para pelajar berkenaan. Seperti biasa begitu syahdu dan begitu sedih mereka memeluk ibu mereka, namun yang pasti hanya seketika. Ini tidak bermakna mereka perlu menangis sepanjang pembelajaran mereka. Persoalan saya, berapa lamakah mereka dapat merasakan kekesalan mereka. Sama seperti anak sibapa yang bertemu saya atau mungkin sama seperti anak-anak kita yang menangis ketika diingatkan kesilapan mereka, namun yang pastinya kekesalan itu tidak kekal lama.

Kita sudah acapkali menangis ketika mendengar sesuatu dari orang lain, kita sudah banyak kali tersentuh rasa apabila kita diingatkan akan perkara dan kesalahan yang diperlakukan. Adakah itu semua tanda kita sudah insaf atau hanya berasa insaf. Mungkin saya melihatnya dari sudut berbeza, namun tidak salah untuk kita sama-sama merenungi hal tangisan. Senario yang sering berlaku adalah tangisan airmata ini cukup mudah untuk berlaku dalam program-program motivasi. Kita mungkin tidak pernah bertanya mengapa kita menangis ketika berada dalam program motivasi. Kita mungkin merasakan yang kita sudah mula berubah ketika dalam program motivasi. Saya bukan mengatakan program motivasi tidak bagus atau tidak menyumbang apa pun dalam kehidupan. Kita perlukan kem motivasi, kita perlu dimotivasi namun hakikatnya adalah diri kita. Yang menjadi perkara pokok dalam kupasan tangisan hari ini adalah diri kita. Kita menangis ketika dalam kem motivasi namun mari kita renungi sejenak, kira-kira berapa banyakkah airmata ini tumpah selepas menghadiri kem motivasi. Adakah ianya tumpah lagi atau pulang ke rumah keringlah airmata, yang tinggal kebanggan untuk bercerita yang kita ini menangis dalam kem motivasi.

Saya melihat ini sebagai sesuatu yang aneh kerana seharusnya kita sudah dapat keinsafan dalam kem motivasi, kita akan membawa pulang keinsafan dan lebih hebatlah tangisan itu dikala bersendirian bersama Allah swt. Hakikatnya dikala bersendirian bersama Allah swt tangisan tidak pula menjengah dan hal duniawi kembali menguasai diri. Mengapa hal ini berlaku dan sering berlaku? Saya merujuk kembali kepada kata-kata imam ibnu qayyim berkaitan tangisan yang mana antara sebab kita menangis adalah kerana sedih atau mungkin juga terikut-ikut. Kita sewaktu diberi motivasi mungkin sedih mendengar cerita dari motivator dengan permainan suara mahupun audio, hasilnya timbullah tangisan tetapi mungkin ada dikalangan kita yang menghadiri kem motivasi tetapi sukar menangis namun setelah melihat sekelilingnya menangis, lalu menangislah dia. Ada juga kelompok yang menangis kerana berpura-pura menangis. Hal ini berlaku kerana dia terpaksa ke program atau malu jika dilihat tidak menangis. Jika kita sudah menangis benar, kita pasti juga akan menangis bahkan lebih hebat lagi sewaktu bersendirian. Kita sebenarnya menangis bukan kerana insaf diri tetapi kerana ‘berasa’ insaf. Kita ‘berasa’ insaf kerana emosi kita sudah dimainkan oleh si motivator. Emosi kita disentuh dengan suara dan kesan audio yang cukup untuk mempengaruhi tangisan begitu juga dengan cerita-cerita sedih. Hal ini tidak jauh bezanya ketika seseorang itu menonton cerita sedih. Ramai yang mengalirkan airmata apabila menonton rancangan TV : bersamamu. Meskipun begitu ramai juga kering airmata dan kering hati selepas rancangan itu berakhir. Persoalannya dimanakah perubahan hidup yang dibuat oleh tangisan? Sepatutnya tangisan dapat mengubah kita ke satu lagi tahap keinsafan.

Daripada Ibnu Abbas r.anhuma katanya, aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda;“Dua (jenis) mata yang tidak akan disentuh oleh api neraka: Mata yang menangis akibat ketakutan kepada Allah dan mata yang tidak tidur berjaga di jalan Allah.” (At-Tirmizi).

Ali bin Abi Talib r.a. berkata: “Tanda orang yang riyaa’ itu ada empat iaitu malas jika bersendirian, dan tangkas jika di hadapan orang, dan menambah amalnya jika dipuji, dan menguranginya jika dicela.
sumber: http://aku-ok.com/blog/2010/05/airmata-emosi/
Selengkapnya...

Minggu, 15 Agustus 2010

FATWA ROKOK

FATWA TARJIH Selengkapnya...

Selasa, 03 Agustus 2010

Komersialisasi Agama di Bulan Ramadhan


Komersialisasi Agama di Bulan Ramadhan:
Antara Reduksi Arti Agama Hingga Keharusan Kembali ke Jalan Tauhid

Dalam sejarahnya Umat muslim, selalu dihantui oleh syahwat. Tak jarang banyak para Umat beragama tergelincir dalam lubang hitam Nafsu syahwat yang selalu menggoda nilai transendensi umat manusia.

Seiring teknologi yang kian canggih, Agama memasuki babak baru. Pemisahan antara Tuhan dan Kehidupan mendapat tempat empuk dalam keranjang bernama modernisasi. Ironisnya pada zaman modern penuh fitnah seperti dewasa ini, agama menjadi saksi untuk diperas agar melahirkan finansi. Kapitalisasi agama menjadi tidak terlekakkan, ketika wilayah Agama menjadi mesin untuk menghasilkan pundi-pundi. Sejarah ini memang tidak ada habis-habisnya. Agama menjadi target utama untuk kemudian terlepas simpul demi simpul.

Menggugat Sinetron Islami: Anti Thesis Sebuah Dakwah

Di Indonesia kejadian komersialisasi Agama menjadi semakin kompleks. Dari tindak praktek menjual agama dengan terang-terangan, menukar sendi iman dengan kuasa, menggadai tauhid demi segenap finansi, sampai tak lupa menjual ayat suci demi status dan gengsi. Namun alangkah menariknya bahwa fenomena yang kini juga tidak kalah mengkhawatirkan sedang melenggang menuju bulan suci. Momen bulan ramadhan yang tinggal berjarak hitungan masa dari saat ini, dimanfaatkan dengan begitu semangatnya oleh para stasiun TV. Artis-artis berjilbab kontan membanjiri tayangan media.

Dialog-dialog dalam setting sinetron-sinetron Islam, kontan memicu berbagai pihak untuk mengkonotasikan tayangan itu dalam istilah program dakwah. Tidak jarang dari Umat Islam, juga menilai bahwa sinetron-sinetron Islami itu sebagai sebuah terobosan Syi’ar yang tidak terkesan menggurui, cair, menarik, bahkan sarat dengan sentuhan Islami tapi tetap vital untuk disaksikan.

Problemnya di program-program sinetron itu, tidak sedikit adegan-adegan yang rasanya tak elok untuk ditampilkan. Bahkan hal itu juga menyempal pada judul-judul yang digunakan. Sinetron para Pencari Tuhan misalnya. Sinetron yang digandrungi pada Ramadhan tahun lalu ini akan mengalami problematika pada pemilihan judul katanya.

Kata “Pencari Tuhan” disini seakan-akan menggambarkan bahwa Tuhan tidak ada, dan perlu dicari. Tuhan bersembunyi dan perlu diketemui. Jika Tuhan selama ini sedang kita cari, lho Tuhan siapa yang sekarang kita sembah dalam tiap Shalat kita? Aha.. Penulis menjadi tergelitik, jangan-jangan Tuhan yang sedang mereka cari di sinetron itu adalah hasil kosntruk pikiran manusia dan bukan Sang Maha Pencipta yang selama ini kita Agungkan. Tentu mendengar judul yang agak konyol itu, kita mengingat dua orang filsuf ateis, Sigmund Schlomo Freud dan Ludwig Feurbach yang mengatakan bahwa agama lahir dari ilusi, bukan wahyu.

Selain itu, seorang filosof yang pernah membedah agama untuk tidak lagi menjadi dimensi tauhid adalah Karl Marx. Agama bagi Marx tidak lebih sekedar candu. Agama menjadi sebuah momok dalam dua similaritas: Pembunuh modernitas atau terbunuh modernitas. Ya seperti yang diucap Frederitch Nietszche, “Bahwa Tuhan sudah Mati”. Bedanya, Marx menganggap Modernisasi akan melahirkan rasionalisasi, dan rasionalisasi akan membunuh agama yang ditafsirkan Marx tentu dalam cawan bahwa agama tidak lebih dari sekedar irasionalitas.

Tentu “Trio Atheis” Marx, Freud, dan Feurbach berspekulasi bahwa ia menyamakan fenomena agama di Barat dengan agama Islam. Namun pada kenyataannya di Indonesia situasinya hampir mirip. Jika Marx mereduksi agama pada bingkai rasio dan logika, Indonesia kini tengah meniti jalan mereduksi agama menjadi gelimang harta yang seksi.

Kepingan Rupiah untuk menelanjangi agama juga tengah berlangusng dalam sinetron Islami berjudul “Islam KTP”. Sinetron berdurasi satu jam yang ditayangkan SCTV pada bedug maghrib ini, menampilkan banyak adegan para perempuan mengenakan rok mini. Pihak sutradara agaknya senagaja menampilkan gambar syur itu agar terasa situasi perkantoran modern saat ini.

Sudah selesaikah disitu? Belum. Ketidak jelasan mengenai arti muslimah patut menjadi bahan kritik. Sebab (masih) dalam sinetron itu, seorang muslimah dari suami yang “bergelar” ustadz, bisa saja memakai jilbab seenaknya. Mau jilbab yang menutupi kepala sampai dada, atau jilbab yang menutupi kepala tapi leher terbuka. Tapi apakah sang Ustadz, yang diperankan dengan tokoh bernama “Bang Ali” pada cerita itu dikonstruk sebagai ahli agama, melakukan kritik kepada istrinya? Tidak sama sekali.

Angle cerita pun kemudian menelanjangi Islam dalam sudut komedi semata. Islam menjadi bahan tawa yang tidak dinetralisir dengan keseriusan. Islam ditertawai di depan seluruh pemirsa, semata-mata agar tidak kaku, mengalir, dan tentu menghasilkan ratting tinggi. Islam menjadi “bintang” yang terserah mau dibawa kemana, dan ditafsirkan seperti apa. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah angle cerita di sinetron itu.

“Bang Madid” yang digambarkan sebagai ahli sedekah nan sombong,dengan congaknya mengatakan bahwa malaikat tidak akan pernah mencatat perbuatan dosanya karena track record kerajinannya dalam bersedekah. Seakan-akan dengan intensitas ia bersedekah, perbuatan dosa yang dilakukan manusia alpa dalam pengawasan malaikat.

Pertanyaannya pun sama, apakah sinetron itu kemudian mencounter ucapan “Bang Madid” yang sesat itu? Tidak sama sekali, ucapan nyeleneh itu dibiarkan begitu saja, yang kemudian menjadi doktrin bagi yang menontonnya.

Padahal Allah dengan tegas membahas kesesatan seperti ucapan di atas dalam Surat Al Qaaf ayat 18 bahwa, “Tidak suatu ucapanpun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas”

Bahkan dalam riwayat lain, Rasulullah SAW pernah bersabda perihal orang-orang yang suka meremehkan dan tidak dapat menjaga akhlaknya, “Tidak ada sesuatu apa pun yang dapat memberatkan timbangan seorang mukmin di hari kiamat kecuali akhlak yang baik. Sesungguhnya Allah, sangat membenci orang-orang yang berbuat keji dan suka meremehkan (HR Tirmidzi)

Sinetron dengan tingkat rating tinggi ini pun mengajarkan benih-benih kesyirikan. Alkisah, seorang anak kaya bernama Jami jatuh cinta kepada seorang Muslimah bernama Sabrina, anak perempuan dari Ustadz Ali. Demi mendapatkan Gadis tersebut yang tergolong “Ustadzah”, ia rela mati-matian belajar shalat dan membaca Al Qur’an.

Pertanyaannya, apakah ia melakukan itu semua untuk menggapai ridho ilahi? Bukan, tapi semata-mata mendapatkan perempuan yang dicintainya itu. Bayangkan begitu remehnya perkara shalat dan keagungan akan Al Qur’an yang diredusir demi sebuah paras wanita. Yang tersudut atas nafsu cinta belaka.

Lihatlah bagaimana Allah sudah mengingatkan kejadian seperti di atas, dalam surat Al Bayyinah ayat 5, “Padahal mereka, tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah, dengan memurnikan ketaatan kepadaNya dalam (menjalankan) agama dengan lurus”
Sinetron itu memang seperti menggambarkan semangat keislaman banyak manusia. Bahwa akhirnya sang Ustadzah yang pada awalnya ketat menjaga persentuhan antara laki-laki dan perempuan, lama-kelamaan dengan mudahnya disentuh oleh lelaki yang mencintainya itu.

Apakah kemudian angle cerita itu didudukkan dalam perspektif Qur’an dan Sunnah? Lalu apakah Bang Ali yang berperan sebagai ustadz panutan masyarakat mewanti-wanti putri kesayangannya? Tidak sama sekali. Sang Ustadz malah mempertanyakan perkembangan hubungan pacaran mereka. Naudzubillah. Ya Cerita itu terus mengalir dengan masing-masing tokoh yang setia didefiniskan sebagai seorang Ustadz dan Ustadzah.

Ketika Cinta Bertasbih, Ketika Penonton Beristighfar

Sekarang kita beralih ke Film dan Sinetron Ketika Cinta Bertasbih (KCB). Film yang Diadopsi Dari Kisah Novel Habiburrahman El Shirazy ini juga patut mendapatkan kritikan. Jauh sebelum Novel ini menjadi sinteron, kisah perjalanan Mahasiswa Indonesia di Kairo ini, pernah diangkat ke medium layar lebar. Tak jarang, film ini pun mendapatkan sambutan luas oleh para Umat muslim, termasuk beberapa Ulama.

Terlepas dari apresiasi penulis bahwa Film ini mencoba memperlihatkan kehidupan seorang penuntut ilmu di Al Azhar, Film inipun rasanya patut mendapat kritikan. Persoalannya menurut penulis tidak sepele. Sebuah “adegan ranjang” yang dipertontonkan ketika tokoh Furqan dan tokoh Anna Althafunnisa akan menunaikan misinya sebagai suami istri.

Walau adegan itu tidak dipertotonkan secara vulgar, namun pose seorang istri yang tidur di ranjang dan suami yang bersiap-siap untuk memnuhi kewajibannya sangat tidak pantas ditaruh pada isi cerita. Apalagi film fenomenal ini bergenre Islami, yang diangkat dari novel Islami, dan bernuansa Islami. Padahal Allah jelas-jelas melarang kaummnya untuk mendekati zina. ”Dan janganlah engkau mendekati zina, karena (di dalamnya) terdapat keburukan dan merupakan jalan yang buruk” (Al Maidah)

Ini belum kita hitung pada penayangan sinetron KCB yang tayang di RCTI pada jam-jam dimana Allah malah menyuruh kita untuk khusyuk mendirikan Shalat Maghrib bukan malah di depan TV. Pada suatu bagian cerita, Tokoh Khoirul Azzam dan Anna Althafunnisa terihat duduk berdampingan tanpa ada hijab yang memenuhi syari’.

Penulis bisa menebak, bahwa sang sutradara ingin betul-betul membawa penonton untuk mengakui bahwa kedua pasangan ini adalah suami-istri. Tapi bukankah pada sejatinya mereka berdua bukanlah sejoli yang sah? Bukankah masing-masing mereka pun jua belum menikah sampai detik ini? Terlebih, diakui atau tidak, kedua aktor ini telah kadung dicap seorang muslim dan muslimah hanif.

Penulis yakin, sebenarnya mereka sudah tahu tentang bagaimana tentang aturan hijab antara dua sejoli non muhrim. Uniknya, mereka berdua di film itu memerankan akting sebagai ustadz dan ustadzah yang justru mengajarkan tentang hijab. Seperti, Tokoh Azzam yang tidak mau ditemui Tokoh Elliana jika hanya berdua saja. Sebab dalam sinteron itu, mereka bukan pasangan suami isteri.

Lalu bagaimana Azzam menundukkan pandangan mata ketika adalah salah seorang santriwati yang takjub dengan ketampanananya. Tapi tentunya akan menjadi ganjil, ketika Azzam (Kholidi Asadil Alam) justru berpandangan berlama-lamaan dalam sebuah setting cerita dengan Anna Althafunnisa (Okki setiana Dewi). Padahal dalam Islam kita mengenal batasan memandang lain jenis yang bukan muhrim. Tentu ini bisa menjadi bahan telaah dalam menagrungi dakwah di jalur perfilman.

Lagi-lagi penulis di sini bukan dalam kapasitas untuk membelenggu “ikhtiar” dari banyak orang untuk memperkenalakan Sinetron-sinetron islami atau dakwah untuk menetralisir atau minimal mengimbangi maraknya sinetron-sinetron sekular.

Namun hemat penulis, justru jika cara berfikir kita demikian, secara tidak langsung kita mengajarkan diri menjadi orang munafik. Padahal kita tidak butuh “Islam yang daripada enggak”, kita juga tidak butuh “Islam yang daripada gak ada sinetron Islami”.

Tapi kita hanya mau Islam yang benar-benar Islam. Islam yang tidak ada kebohongan di dalamnya. Bukan Islam yang dipelur sedemikian rupa untuk memperlihatkan kebaikan tapi justru kemudian menyisipi kebathilan dalam hembusannya. Meminjam sebuah judul Bab dalam kitab Dirasah Islamiyah karangan Asy Syahid Sayyid Quthb bahwa: Ambil Islam seluruhnya atau tidak sama sekali. Selesai!

“Dan diantara manusia (orang munafik) itu ada orang yang mengatakan: Kami beriman kepada Allah, dan hari akhir, sedang sebenarnya mereka bukan orang beriman” (Al Baqarah ayat 8-9)

Kembali ke Jalan Tauhid bukan Produk Jahili

Babak problem berikutnya adalah sebuah pertanyaan yang membutuhkan jawaban. Kalau banyaknya sinetron-sinetron yang keliru menjelaskan atau setidaknya menceritakan tentang Islam, pihak mana yang mesti bertanggung jawab.

Lalu apakah hal ini kemudian akan bisa diluruskan dengan kehadiran Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Undang-undang (UU) Komunikasi, hatta ada Majelis Kontitusi yang khusus menangani bidang Komunikasi sekalipun. Rasanya penulis tidak yakin. Karena ikatan Komisi Penyiaran Indonesia bukanlah ikatan akidah. Buku panduan KPI bukanlah Al Qur’an, tapi Undang-undang yang sejatinya, menurut Ahmad Thompson bahwa produk parlemen dalam Sistem Dajjal hanya berorientasi perut.

Asy Syahid Sayyid Quthb menegaskan bahwa produk UU buatan manusia tidak akan pernah bisa sama sekali mengantarkan manusia ke jalan Tauhidullah. Al Haqq dan Al Bathil tidak mustahil bersintesis dalam sebuah paket UU ciptaan dan kreasi manusia yang hal itu sudah jatuh haram dalam Islam. Dan ini terbukti, lihatlah acara Empat Mata Tukul.

Acara yang dulu pernah dibredel oleh KPI ini, kini kembali tayang dengan judul lain “Bukan Empat Mata”. Jika dulu tayangan yang tidak berilmu ini dibredel karena menampilkan simulasi memakan binatang amphibi. Kini pihak produser punya cara jitu agar berkelit dari sensor KPI. Tukul kini tampil hati-hati, tapi tetap beraksi dengan lawakan-lawakan vulgar yang ditutup-tutupi, membodohi masyarakat dengan peragaan-peragaan minim busana.

Apakah penyamaran acara ini kemudian akan di-stop? Tidak, sepanjang tayangan itu tidak bertentangan dengan UU dan kebudayaan bangsa Indonesia. Inilah sebuah pergeseran yang sangat telak, dimana manhaj Qur’ani yang harus dipegang oleh Umat muslim, kemudian berganti pada sebuah nilai jahili yang sama sekali tidak jelas arahnya. Asy Syahid Sayyid Quthb dalam kitabnya Fiqhud Da’wah menjelaskan karakteristik umat yang sepert ini.

“Seiring perjalanan zaman, klasifikasi itu menjadikan sebagian orang meyakini bahwa mereka berhak disebut orang Islam, jika mereka telah melaksanakan ritual peribadatan sesuai hukum islam. Meskipun dalam menjalani ritual peribadatan mereka mengikuti manhaj yang lain, manhaj yang tidak ada mereka dapatkan dari Allah, tetapi dari tuhan yang lain! Tuhannnya itulah yang menciptakan untuk mereka dalam urusan-urusan kehdiupan mereka, apa yang tidak diperkenankan oleh Allah SWT! Ini adalah kekeliruan yang besar! Islam adalah satu kesatuan yang tidak terpisah.

Setiap orang yang memisahkannya menjadi dua bagian, seperti pembagian di atas, adalah orang-orang yang keluar dari kesatuan ini. Dengan kata lain, IA KELUAR DARI ISLAM!”

Menjalankan tugas untuk menyetop acara-acara yang tidak bermanfaat hanya bisa dilakukan dengan jalah tauhid. Sebanyak-banyaknya peraturan, lembaga komunikasi, dan sinetron Islami tidak akan pernah merubah mindset umat kepada pengakuan hanya kepada Allah lah kita menyembah, jika tidak berlandaskan dakwah bil tauhid.

Sebaliknya, hal itu hanya dapat efektif terlaksana jika segala amalan kita selalu terkait dan terikat kepada jalan pengakuan hanya Allah lah Illah yang patut kita sembah dengan menjalankan segala hukum-hukumNya.

Sebab, Islam tidak akan dapat berjalan maksimal jika umatnya justru menjadikan Islam sebagai kelas kedua. Malu-malu untuk membuka jatidiri keislamannya atas nama kompromi dan dalih karena masyarakat belum siap menerima Islam sepenuhnya. Padahal jika tidak kita yang memulainya, siapa lagi?

Oleh karenanya, jangan sampai kita disinggung oleh Allah, layaknya Allah menyinggung kaum Yahudi “Apakah engkau beriman kepada sebagaian isi kitab dan mengingkari sebagian isi kitab yang lain” Al Baqarah 85.

Wallahua’lam
(Muhammad Pizaro Novelan Tauhidi, Konselor Muslim, Alumnus Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syahid Jakarta)

sumber: http://www.eramuslim.com/suara-kita/pemuda-mahasiswa/muhammad-pizaro-novelan-tauhidi-konselor-muslim-komersialisasi-agama-di-bulan-ramadhan.htm
Selengkapnya...

Senin, 28 Juni 2010

Masjid AL-AQSO atau Dome of The Rock ??


Masjid Al-Aqso yang sebenarnya yang mana?? jangan-jangan selama ini saya, kamu, mereka, kita semua masih salah dalam mengenali Masjid Al-Aqso. Hayoo??... Silakan disimak sampai selesai ya... ^_^"
Selengkapnya...

Jumat, 25 Juni 2010

“Sabar Membebaskan al-Aqsa”


Perjuangan membebaskan Palestina perlu kesabaran, apalagi di tengah mental cinta dunia. Catatan Akhir Pekan [CAP] Adian ke-286

Oleh: Dr. Adian Husaini*

SAAT dunia menyaksikan kejahatan dan kedegilan Israel terhadap relawan Gaza, banyak SMS yang sampai pada saya: ”Apa yang bisa kita lakukan untuk melawan Israel”. Ketika saya jawab, ”Minimal kita berdoa,” dia bertanya lagi, ”Apa hanya doa saja?” Pertanyaan-pertanyaan semacam itu sering muncul dalam benak umat Islam –bahkan umat manusia di berbagai belahan dunia -- saat kita menyaksikan begitu biadabnya Israel menindas bangsa Palestina.

Kita sangat bersyukur ada sebagian kaum muslim yang tergabung dalam relawan Gaza yang dengan sangat kreatif dan berani melakukan terobosan besar dalam menunjukkan kepada dunia, betapa biadabnya kaum Zionis Yahudi. Upaya-upaya seperti ini terbukti sangat efektif. Para relawan itu melakukan perjuangan dengan cerdas dan berani. Mereka juga bersedia mempertaruhkan dirinya demi sebuah cita-cita mulia, membantu perjuangan saudara-saudara kita di Palestina.

Namun, kita sadar, bahwa masalah Palestina bukan soal kecil. Ini masalah besar. Yang sedang kita hadapi adalah bangsa Yahudi, sebuah bangsa yang telah terkenal dengan kecerdikan dan kejahatannya dalam sejarah. Bangsa ini juga begitu banyak disebutkan dalam al-Quran, khususnya tentang kejahatan-kejahatan dan watak degil mereka dalam sejarah.

Perjuangan membebaskan Palestina bukanlah kali pertama dilakukan umat Islam. Sejarah menunjukkan, perjuangan membebaskan diri dari suatu penindasan seringkali membutuhkan waktu yang panjang. Kita ingat, kemerdekaan Indonesia harus dicapai setelah ratusan tahun harus berjuang melawan penjajah Belanda. Dalam kaitan inilah, kita perlu meningat, bahwa syarat penting untuk meraih kemenangan dalam perjuangan adalah sabar dalam berjuang. "Wahai orang-orang yang beriman, bersabarlah dan perkuatlah kesabaranmu dan bersiap-siagalah dan bertaqwalah kepada Allah, mudah-mudahan kamu meraih kemenangan." (QS Ali Imran:200).

Perjuangan mewujudkan suatu kemenangan, apalagi kemenangan perjuangan Islam terkadang memerlukan waktu yang panjang. Untuk dapat menaklukkan Konstantinopel, umat Islam membutuhkan waktu sekitar 800 tahun. Rasulullah saw wafat sekitar tahun 636 M. Semasa hidup, beliau pernah mengabarkan bahwa umat Islam suatu ketika akan menaklukkan Konstantinopel. Ternyata, penaklukan Konstantinopel baru terjadi pada tahun 1453 M. Pada tahun 1099 M, kota Jerusalem jatuh ke tangan pasukan Salib. Umat Islam merebut kembali kota Jerusalem baru pada tahun 1187 M. Itu artinya, umat Islam harus menunggu waktu selama 88 tahun untuk merebut kembali Jerusalem.

Kini, umat Islam diuji oleh Allah SWT, berupa penodaan dan penindasan kaum Yahudi di Palestina. Berulang kali kaum Yahudi merusak dan menodai kesucian Masjid al-Aqsa. Kini, mereka terus mengancam keberadaan Masjid al-Aqsa. Sejak tahun 1967, tempat suci umat Islam ini sudah direbut kaum Yahudi. Jadi, pendudukan Yahudi atas al-Aqsa kini sudah berlangsung 43 tahun. Hingga kini, belum tampak jelas, tanda-tanda untuk mengakhiri keangkuhan kaum Yahudi itu.

Tapi, kasus Jerusalem dan Masjid al-Aqsa sebenarnya merupakan cermin atas kondisi umat Islam sendiri. Umat Islam diperlakukan tidak semestinya, karena mereka lemah. Mengapa mereka lemah? Karena – seperti disebutkan Rasulullah saw – mereka terjangkit penyakit al-wahnu, yakni penyakit cinta dunia dan takut mati. Maka, jika umat Islam mau menang, penyakit itu harus dihapuskan. Tentu saja, ini bukan perkara mudah, karena menyangkut pola pikir dan budaya. Budaya hubbud-dunya telah merasuk dalam berbagai bidang kehidupan. Hubbud-dunya adalah pangkal segala kesalahan. Ketika penyakit ini merasuk, maka akan rusaklah segala tatanan kehidupan. Sebab, dunia, yang seharusnya dijadikan sebagai "ladang akhirat" telah dijadikan sebagai tujuan hidup. Jika hubbud-dunya telah merajalela, maka secara otomatis semangat untuk berjuang di jalan Allah akan memudar.

Inilah PR terbesar yang harus dikerjakan oleh umat Islam. Yakni, bagaimana menjadikan akhirat sebagai tujuan tertinggi dalam kehidupan dan membuang penyakit hubbud-dunya. Ini bukan pekerjaan mudah, karena menyangkut perubahan pemikiran dan pendidikan. Dalam sejarah bisa dilihat, untuk membangkitkan satu generasi Shalahuddin, para ulama memerlukan waktu sekitar 50 tahun. Kembalinya Jerusalem ke tangan umat Islam pada 1187, didahului dengan sebuah proses perubahan sosial yang dipimpin oleh para ulama yang tinggi ilmunya dan zuhud kehidupannya.

Masalahnya, apakah umat Islam saat ini mempunyai ulama-ulama yang hebat semacam itu? Jika tidak, maka kewajiban utama umat Islam adalah mewujudkannya. Setelah itu, para ulama didukung untuk mendidik satu generasi yang tangguh, sebagaimana dijelaskan dalam QS al-Maidah ayat 55. Yakni, generasi yang dicintai Allah dan mencintai Allah, berkasih sayang terjadap sesama mukmin, dan bersikap tegas terhadap kaum kafir, berjihad di jalan Allah, dan tidak takut terhadap berbagai celaan. Mereka yakin dan kokoh dengan keyakinan dan tujuan perjuangan.

Semua itu membutuhkan proses dan waktu yang panjang. Perjuangan Islam membutuhkan kesabaran, kesungguhan, dan kecerdikan. Sebab, tantangan yang dihadapi tidaklah ringan. Godaan untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan, bisa menghancurkan proses perjuangan. Godaan inilah yang menjadi penyebab hancurnya pasukan Islam, gara-gara sebagian pasukan panah tergoda oleh harta rampasan perang. Maka, keliru besar jika ada yang menyangka bahwa jika ada sebagian aktivis dakwah telah menduduki suatu jabatan tertentu di pemerintahan, dikatakan, bahwa mereka telah berhasil dalam dakwah.

Keliru juga jika menyangka bahwa pejuang dakwah yang hebat adalah yang rajin mengeluarkan pernyataan tentang perlunya berdiri sebuah negara Islam; sementara pada saat yang sama, dia tidak melakukan tindakan apa-apa untuk memajukan umat Islam dan melawan kemunkaran yang bercokol di sekitarnya.

Walhasil, perjuangan memerlukan kesabaran dan strategi yang matang. Perjuangan bisa berlangsung dari satu generasi ke generasi berikutnya. Nafsu untuk cepat-cepat melihat hasil perjuangan dapat menghancurkan tujuan perjuangan itu sendiri. Karena itulah, kita sangat berutang budi pada para ustad dan aktivis dakwah yang tidak pernah tersorot kamera TV atau liputan media massa, tetapi gigih mengajarkan aqidah Islam, baca tulis al-Quran, atau membendung gerakan-gerakan pemurtadan yang merusak umat Islam. Para pejuang Islam ini mungkin tidak menyadari, bahwa yang mereka kerjakan adalah sebuah langkah besar dalam menjaga aqidah dan eksistensi umat Islam.

Prof. Kasman Singodimedjo, seorang pejuang Islam di Indonesia, pernah menerbitkan sebuah buku menarik berjudul Renungan dari Tahanan, (Jakarta: Tintamas, 1967). Buku itu ditulisnya saat mendekam dalam tahanan rezim Orde Lama. Dari ruang tahanan itulah, Kasman mengingatkan pentingnya kesabaran dan keberlanjutan dalam perjuangan. Beliau berpesan:

”Seorang muslim harus berjuang terus, betapa pun keadannya lebih sulit daripada sebelumnya. Ada pun kesulitan-kesulitan itu tidak membebaskan seorang muslim untuk berjuang terus, bahkan ia harus berjuang lebih gigih daripada waktu lampau, dengan strategi tertentu dan taktik yang lebih tepat dan sesuai. Pengalaman-pengalaman yang telah dialami hendaknya menjadi pelajaran yang akan banyak memberi hikmah dan manfaat kepadanya. Tidak usah seorang muslim berkecil hati. Tidak usah ia merasa perjuangannya yang lampau itu telah gagal, hanya memang belum sampai pada maksud dan tujuannya. Perjuangan Tengku Umar, Imam Bonjol, Diponegoro, HOS Tjokroaminoto, H.A. Salim, dan lainnya itu pun tidak gagal, hanya belum sampai pada tujuannya. Oleh sebab itu, Muslimin yang masih hidup sekarang ini harus meneruskan perjuangan Islam itu, dengan bertitik tolak kepada keadaan (situasi) dan fakta-fakta yang kini ada, dengan gaya/semangat baru, setidak-tidaknya ”to make the best of it”, menuju kepada baldatun ”tayibatun wa Rabbun gafur”, yakni suatu negara yang baik yang diampuni dan diridhai oleh Allah: adil, makmur, aman, sentausa, tertib, teratur, bahagia, damai.”


Dr. Mohammad Natsir, pada 17 Agustus 1951, juga menulis sebuah artikel berjudul “Jangan Berhenti Tangan Mendayung, Nanti Arus Membawa Hanyut.” Melalui artikelnya ini, Natsir juga mengingatkan, bahwa perjuangan tiada mengenal kata berakhir. Ia mengingatkan munculnya gejala orang-orang yang cepat merasa puas dalam perjuangan dan suka menuntut imbalan atas jerih-payahnya. Ketika itu, hanya enam tahun setelah kemerdekaan, kondisinya sudah sangat berubah. Natsir menggambarkan betapa jauhnya kondisi manusia Indonesia pasca kemerdekaan dengan pra-kemerdekaan.

"Dahulu, mereka girang gembira, sekalipun hartanya habis, rumahnya terbakar, dan anaknya tewas di medan pertempuran, kini mereka muram dan kecewa sekalipun telah hidup dalam satu negara yang merdeka, yang mereka inginkan dan cita-citakan sejak berpuluh dan beratus tahun yang lampau… Semua orang menghitung pengorbanannya, dan minta dihargai. Sengaja ditonjol-tonjolkan ke muka apa yang telah dikorbankannya itu, dan menuntut supaya dihargai oleh masyarakat. Dahulu, mereka berikan pengorbanan untuk masyarakat dan sekarang dari masyarakat itu pula mereka mengharapkan pembalasannya yang setimpal… Sekarang timbul penyakit bakhil. Bakhil keringat, bakhil waktu dan merajalela sifat serakah. Orang bekerja tidak sepenuh hati lagi. Orang sudah keberatan memberikan keringatnya sekalipun untuk tugasnya sendiri. Segala kekurangan dan yang dipandang tidak sempurna, dibiarkan begitu saja. Tak ada semangat dan keinginan untuk memperbaikinya. Orang sudah mencari untuk dirinya sendiri, bukan mencari cita-cita yang diluar dirinya. Lampu cita-citanya sudah padam kehabisan minyak, programnya sudah tamat, tak tahu lagi apa yang akan dibuat!"



Moh. Natsir mengingatkan, jika tidak mau tenggelam dihantam gelombang tantangan zaman, maka kita tidak boleh berhenti "mendayung":

"Saudara baru berada di tengah arus, tetapi sudah berasa sampai di tepi pantai. Dan lantaran itu tangan saudara berhenti berkejauh, arus yang deras akan membawa saudara hanyut kembali, walaupun saudara menggerutu dan mencari kesalahan di luar saudara. Arus akan membawa saudara hanyut, kepada suatu tempat yang tidak saudara ingini... Untuk ini perlu saudara berdayung. Untuk ini saudara harus berani mencucurkan keringat. Untuk ini saudara harus berani menghadapi lapangan perjuangan yang terbentang di hadapan saudara, yang masih terbengkelai... Perjuangan ini hanya dapat dilakukan dengan enthousiasme yang berkobar-kobar dan dengan keberanian meniadakan diri serta kemampuan untuk merintiskan jalan dengan cara yang berencana."



Kasus relawan Gaza yang diserbu dan dianiaya kaum Zionis telah memberikan pelajaran yang sangat berharga kepada kita. Meskipun mereka gagal memasuki Gaza, tetapi mereka telah berani mempertaruhkan apa yang sangat mereka cintai, demi sebuah perjuangan membantu rakyat Palestina dan membebaskan al-Aqsa dari cengkeraman kaum Zionis. Perjuangan masih belum berhenti. Perjuangan membutuhkan kesabaran dan akan berlangsung terus, dari generasi demi generasi. Kita bisa belajar banyak pada relawan Gaza tersebut. [Depok, Juni 2010/hidayatullah.com]

Catatan Akhir Pekan [CAP] adalah hasil kerjasama antara Radio Dakta 107 FM dan www.hidayatullah.com

sumber: http://www.hidayatullah.com/kolom/adian-husaini/12223?task=view Selengkapnya...

KONSEP ISLAM TENTANG PERKAWINAN


Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


MUQADIMAH
Persoalan perkawinan adalah persoalan yang selalu aktual dan selalu menarik untuk dibicarakan, karena persoalan ini bukan hanya menyangkut tabiat dan hajat hidup manusia yang asasi saja tetapi juga menyentuh suatu lembaga yang luhur dan sentral yaitu rumah tangga. Luhur, karena lembaga ini merupakan benteng bagi pertahanan martabat manusia dan nilai-nilai ahlaq yang luhur dan sentral.

Karena lembaga itu memang merupakan pusat bagi lahir dan tumbuhnya Bani Adam, yang kelak mempunyai peranan kunci dalam mewujudkan kedamaian dan kemakmuran di bumi ini. Menurut Islam Bani Adamlah yang memperoleh kehormatan untuk memikul amanah Illahi sebagai khalifah di muka bumi, sebagaimana firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat : "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata : "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di muka bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau ?. Allah berfirman : "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui". [Al-Baqarah : 30].

Perkawinan bukanlah persoalan kecil dan sepele, tapi merupakan persoalan penting dan besar. 'Aqad nikah (perkawinan) adalah sebagai suatu perjanjian yang kokoh dan suci (mitsaqon gholidhoo), sebagaiman firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami istri dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat". [An-Nisaa' : 21].

Karena itu, diharapkan semua pihak yang terlibat di dalamnya, khusunya suami istri, memelihara dan menjaganya secara sunguh-sungguh dan penuh tanggung jawab.

Agama Islam telah memberikan petunjuk yang lengkap dan rinci terhadap persoalan perkawinan. Mulai dari anjuran menikah, cara memilih pasangan yang ideal, melakukan khitbah (peminangan), bagaimana mendidik anak, serta memberikan jalan keluar jika terjadi kemelut dalam rumah tangga, sampai dalam proses nafaqah dan harta waris, semua diatur oleh Islam secara rinci dan detail.

Selanjutnya untuk memahami konsep Islam tentang perkawinan, maka rujukan yang paling sah dan benar adalah Al-Qur'an dan As-Sunnah Shahih (yang sesuai dengan pemahaman Salafus Shalih -pen), dengan rujukan ini kita akan dapati kejelasan tentang aspek-aspek perkawinan maupun beberapa penyimpangan dan pergeseran nilai perkawinan yang terjadi di masyarakat kita.

Tentu saja tidak semua persoalan dapat penulis tuangkan dalam tulisan ini, hanya beberapa persoalan yang perlu dibahas yaitu tentang : Fitrah Manusia, Tujuan Perkawinan dalam Islam, Tata Cara Perkawinan dan Penyimpangan Dalam Perkawinan.

PERKAWINAN ADALAH FITRAH KEMANUSIAAN
Agama Islam adalah agama fithrah, dan manusia diciptakan Allah Ta'ala cocok dengan fitrah ini, karena itu Allah Subhanahu wa Ta'ala menyuruh manusia menghadapkan diri ke agama fithrah agar tidak terjadi penyelewengan dan penyimpangan. Sehingga manusia berjalan di atas fitrahnya.

Perkawinan adalah fithrah kemanusiaan, maka dari itu Islam menganjurkan untuk nikah, karena nikah merupakan gharizah insaniyah (naluri kemanusiaan). Bila gharizah ini tidak dipenuhi dengan jalan yang sah yaitu perkawinan, maka ia akan mencari jalan-jalan syetan yang banyak menjerumuskan ke lembah hitam. Firman Allah Ta'ala.

"Artinya : Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Allah) ; (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus ; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui". [Ar-Ruum : 30].

A. Islam Menganjurkan Nikah
Islam telah menjadikan ikatan perkawinan yang sah berdasarkan Al-Qur'an dan As-Sunnah sebagi satu-satunya sarana untuk memenuhi tuntutan naluri manusia yang sangat asasi, dan sarana untuk membina keluarga yang Islami. Penghargaan Islam terhadap ikatan perkawinan besar sekali, sampai-sampai ikatan itu ditetapkan sebanding dengan separuh agama. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Barangsiapa menikah, maka ia telah melengkapi separuh dari agamanya. Dan hendaklah ia bertaqwa kepada Allah dalam memelihara yang separuhnya lagi". [Hadist Riwayat Thabrani dan Hakim]

B. Islam Tidak Menyukai Membujang
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan untuk menikah dan melarang keras kepada orang yang tidak mau menikah. Anas bin Malik radliyallahu 'anhu berkata : "Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan kami untuk nikah dan melarang kami membujang dengan larangan yang keras". Dan beliau bersabda :

"Artinya : Nikahilah perempuan yang banyak anak dan penyayang. Karena aku akan berbanggga dengan banyaknya umatku dihadapan para Nabi kelak di hari kiamat". [Hadits Riwayat Ahmad dan di shahihkan oleh Ibnu Hibban]

Pernah suatu ketika tiga orang shahabat datang bertanya kepada istri-istri Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang peribadatan beliau, kemudian setelah diterangkan, masing-masing ingin meningkatkan peribadatan mereka. Salah seorang berkata : Adapun saya, akan puasa sepanjang masa tanpa putus. Dan yang lain berkata : Adapun saya akan menjauhi wanita, saya tidak akan kawin selamanya .... Ketika hal itu di dengar oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau keluar seraya bersabda :

"Artinya : Benarkah kalian telah berkata begini dan begitu, sungguh demi Allah, sesungguhnya akulah yang paling takut dan taqwa di antara kalian. Akan tetapi aku berpuasa dan aku berbuka, aku shalat dan aku juga tidur dan aku juga mengawini perempuan. Maka barangsiapa yang tidak menyukai sunnahku, maka ia tidak termasuk golongannku".[Hadits Riwayat Bukhari dan Muslim].

Orang yang mempunyai akal dan bashirah tidak akan mau menjerumuskan dirinya ke jalan kesesatan dengan hidup membujang. Kata Syaikh Hussain Muhammad Yusuf : "Hidup membujang adalah suatu kehidupan yang kering dan gersang, hidup yang tidak mempunyai makna dan tujuan. Suatu kehidupan yang hampa dari berbagai keutamaan insani yang pada umumnya ditegakkan atas dasar egoisme dan mementingkan diri sendiri serta ingin terlepas dari semua tanggung jawab".

Orang yang membujang pada umumnya hanya hidup untuk dirinya sendiri. Mereka membujang bersama hawa nafsu yang selalu bergelora, hingga kemurnian semangat dan rohaninya menjadi keruh. Mereka selalu ada dalam pergolakan melawan fitrahnya, kendatipun ketaqwaan mereka dapat diandalkan, namun pergolakan yang terjadi secara terus menerus lama kelamaan akan melemahkan iman dan ketahanan jiwa serta mengganggu kesehatan dan akan membawanya ke lembah kenistaan.

Jadi orang yang enggan menikah baik itu laki-laki atau perempuan, maka mereka itu sebenarnya tergolong orang yang paling sengsara dalam hidup ini. Mereka itu adalah orang yang paling tidak menikmati kebahagian hidup, baik kesenangan bersifat sensual maupun spiritual. Mungkin mereka kaya, namun mereka miskin dari karunia Allah.

Islam menolak sistem kerahiban karena sistem tersebut bertentangan dengan fitrah kemanusiaan, dan bahkan sikap itu berarti melawan sunnah dan kodrat Allah Ta'ala yang telah ditetapkan bagi mahluknya. Sikap enggan membina rumah tangga karena takut miskin adalah sikap orang jahil (bodoh), karena semua rezeki sudah diatur oleh Allah sejak manusia berada di alam rahim, dan manusia tidak bisa menteorikan rezeki yang diakaruniakan Allah, misalnya ia berkata : "Bila saya hidup sendiri gaji saya cukup, tapi bila punya istri tidak cukup ?!".

Perkataan ini adalah perkataan yang batil, karena bertentangan dengan ayat-ayat Allah dan hadits-hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Allah memerintahkan untuk kawin, dan seandainya mereka fakir pasti Allah akan membantu dengan memberi rezeki kepadanya. Allah menjanjikan suatu pertolongan kepada orang yang nikah, dalam firman-Nya :

"Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang laki-laki dan perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui". [An-Nur : 32]
.
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menguatkan janji Allah itu dengan sabdanya :

"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak Allah tolong mereka, yaitu seorang mujahid fi sabilillah, seorang hamba yang menebus dirinya supaya merdeka, dan seorang yang menikah karena ingin memelihara kehormatannya". [Hadits Riwayat Ahmad 2 : 251, Nasa'i, Tirmidzi, Ibnu Majah hadits No. 2518, dan Hakim 2 : 160 dari shahabat Abu Hurairah radliyallahu 'anhu].

Para Salafus-Shalih sangat menganjurkan untuk nikah dan mereka anti membujang, serta tidak suka berlama-lama hidup sendiri.

Ibnu Mas'ud radliyallahu 'anhu pernah berkata : "Jika umurku tinggal sepuluh hari lagi, sungguh aku lebih suka menikah daripada aku harus menemui Allah sebagai seorang bujangan". [Ihya Ulumuddin dan Tuhfatul 'Arus hal. 20].

TUJUAN PERKAWINAN DALAM ISLAM
[1]. Untuk Memenuhi Tuntutan Naluri Manusia Yang Asasi
Di tulisan terdahulu kami sebutkan bahwa perkawinan adalah fitrah manusia, maka jalan yang sah untuk memenuhi kebutuhan ini yaitu dengan aqad nikah (melalui jenjang perkawinan), bukan dengan cara yang amat kotor menjijikan seperti cara-cara orang sekarang ini dengan berpacaran, kumpul kebo, melacur, berzina, lesbi, homo, dan lain sebagainya yang telah menyimpang dan diharamkan oleh Islam.

[2]. Untuk Membentengi Ahlak Yang Luhur.
Sasaran utama dari disyari'atkannya perkawinan dalam Islam di antaranya ialah untuk membentengi martabat manusia dari perbuatan kotor dan keji, yang telah menurunkan dan meninabobokan martabat manusia yang luhur. Islam memandang perkawinan dan pembentukan keluarga sebagai sarana efefktif untuk memelihara pemuda dan pemudi dari kerusakan, dan melindungi masyarakat dari kekacauan. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Wahai para pemuda ! Barangsiapa diantara kalian berkemampuan untuk nikah, maka nikahlah, karena nikah itu lebih menundukan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia puasa (shaum), karena shaum itu dapat membentengi dirinya". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari, Muslim, Tirmidzi, Nasa'i, Darimi, Ibnu Jarud dan Baihaqi].

[3]. Untuk Menegakkan Rumah Tangga Yang Islami.
Dalam Al-Qur'an disebutkan bahwa Islam membenarkan adanya Thalaq (perceraian), jika suami istri sudah tidak sanggup lagi menegakkan batas-batas Allah, sebagaimana firman Allah dalan ayat berikut :

"Artinya : Thalaq (yang dapat dirujuki) dua kali, setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang bail. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang dhalim". [Al-Baqarah : 229].

Yakni keduanya sudah tidak sanggup melaksanakan syari'at Allah. Dan dibenarkan rujuk (kembali nikah lagi) bila keduany sanggup menegakkan batas-batas Allah. Sebagaimana yang disebutkan dalam surat Al-Baqarah lanjutan ayat di atas :

"Artinya : Kemudian jika si suami menthalaqnya (sesudah thalaq yang kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dikawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami yang pertama dan istri) untuk kawin kembali, jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah, diternagkannya kepada kaum yang (mau) mengetahui ". [Al-Baqarah : 230]

Jadi tujuan yang luhur dari pernikahan adalah agar suami istri melaksanakan syari'at Sialm dalam rumah tangganya. Hukum ditegakkannya rumah tangga berdasarkan syari'at Islam adalah wajib. Oleh karena itu setiap muslim dan muslimah yang ingin membina rumah tangga yang Islami, maka ajaran Islam telah memberikan beberapa kriteria tentang calon pasangan yang ideal, yaitu: Harus Kafa'ah dan Shalihah.

[a]. Kafa'ah Menurut Konsep Islam
Pengaruh materialisme telah banyak menimpa orang tua. Tidak sedikit zaman sekarang ini orang tua yang memiliki pemikiran, bahwa di dalam mencari calon jodoh putra-putrinya, selalu mempertimbangkan keseimbangan kedudukan, status sosial dan keturunan saja. Sementara pertimbangan agama kurang mendapat perhatian. Masalah Kufu' (sederajat, sepadan) hanya diukur lewat materi saja.

Menurut Islam, Kafa'ah atau kesamaan, kesepadanan atau sederajat dalam perkawinan, dipandang sangat penting karena dengan adanya kesamaan antara kedua suami istri itu, maka usaha untuk mendirikan dan membina rumah tangga yang Islami inysa Allah akan terwujud. Tetapi kafa'ah menurut Islam hanya diukur dengan kualitas iman dan taqwa serta ahlaq seseorang, status sosial, keturunan dan lain-lainnya. Allah memandang sama derajat seseorang baik itu orang Arab maupun non Arab, miskin atau kaya. Tidak ada perbedaan dari keduanya melainkan derajat taqwanya [Al-Hujurat : 13]

"Artinya : Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal". [Al-Hujurat : 13].

Dan mereka tetap sekufu' dan tidak ada halangan bagi mereka untuk menikah satu sama lainnya. Wajib bagi para orang tua, pemuda dan pemudi yang masih berfaham materialis dan mempertahanakan adat istiadat wajib mereka meninggalkannya dan kembali kepada Al-Qur'an dan Sunnah Nabi yang Shahih. Sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Wanita dikawini karena empat hal : Karena hartanya, karena keturunannya, karena kecantikannya, dan karena agamanya. Maka hendaklah kamu pilih karena agamanya (ke-Islamannya), sebab kalau tidak demikian, niscaya kamu akan celaka". [Hadits Shahi Riwayat Bukhari 6:123, Muslim 4:175]

[b]. Memilih Yang Shalihah
Orang yang mau nikah harus memilih wanita yang shalihan dan wanita harus memilih laki-laki yang shalih. Menurut Al-Qur'an wanita yang shalihah ialah :

"Artinya : Wanita yang shalihah ialah yang ta'at kepada Allah lagi memelihara diri bila suami tidak ada, sebagaimana Allah telah memelihara (mereka)". [An-Nisaa : 34]

Menurut Al-Qur'an dan Al-Hadits yang Shahih di antara ciri-ciri wanita yang shalihah ialah :

"Ta'at kepada Allah, Ta'at kepada Rasul, Memakai jilbab yang menutup seluruh auratnya dan tidak untuk pamer kecantikan (tabarruj) seperti wanita jahiliyah (Al-Ahzab : 32), Tidak berdua-duaan dengan laki-laki yang bukan mahram, Ta'at kepada kedua Orang Tua dalam kebaikan, Ta'at kepada suami dan baik kepada tetangganya dan lain sebagainya".

Bila kriteria ini dipenuhi Insya Allah rumah tangga yang Islami akan terwujud. Sebagai tambahan, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan untuk memilih wanita yang peranak (banyak keturunannya) dan penyayang agar dapat melahirkan generasi penerus umat.

[4]. Untuk Meningkatkan Ibadah Kepada Allah.
Menurut konsep Islam, hidup sepenunya untuk beribadah kepada Allah dan berbuat baik kepada sesama manusia. Dari sudut pandang ini, rumah tangga adalah salah satu lahan subur bagi peribadatan dan amal shalih di samping ibadat dan amal-amal shalih yang lain, sampai-sampai menyetubuhi istri-pun termasuk ibadah (sedekah).

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jika kalian bersetubuh dengan istri-istri kalian termasuk sedekah !. Mendengar sabda Rasulullah para shahabat keheranan dan bertanya : "Wahai Rasulullah, seorang suami yang memuaskan nafsu birahinya terhadap istrinya akan mendapat pahala ?" Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjawab : "Bagaimana menurut kalian jika mereka (para suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah mereka berdosa .? "Jawab para shahabat :"Ya, benar". Beliau bersabda lagi : "Begitu pula kalau mereka bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), mereka akan memperoleh pahala !". [Hadits Shahih Riwayat Muslim 3:82, Ahmad 5:1167-168 dan Nasa'i dengan sanad yang Shahih].

[5]. Untuk Mencari Keturunan Yang Shalih.
Tujuan perkawinan di antaranya ialah untuk melestarikan dan mengembangkan bani Adam, Allah berfirman :

"Artinya : Allah telah menjadikan dari diri-diri kamu itu pasangan suami istri dan menjadikan bagimu dari istri-istri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezeki yang baik-baik. Maka mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah ?". [An-Nahl : 72]

Dan yang terpenting lagi dalam perkawinan bukan hanya sekedar memperoleh anak, tetapi berusaha mencari dan membentuk generasi yang berkualitas, yaitu mencari anak yang shalih dan bertaqwa kepada Allah.

Tentunya keturunan yang shalih tidak akan diperoleh melainkan dengan pendidikan Islam yang benar. Kita sebutkan demikian karena banyak "Lembaga Pendidikan Islam", tetapi isi dan caranya tidak Islami. Sehingga banyak kita lihat anak-anak kaum muslimin tidak memiliki ahlaq Islami, diakibatkan karena pendidikan yang salah. Oleh karena itu suami istri bertanggung jawab mendidik, mengajar, dan mengarahkan anak-anaknya ke jalan yang benar.

Tentang tujuan perkawinan dalam Islam, Islam juga memandang bahwa pembentukan keluarga itu sebagai salah satu jalan untuk merealisasikan tujuan-tujuan yang lebih besar yang meliputi berbagai aspek kemasyarakatan berdasarkan Islam yang akan mempunyai pengaruh besar dan mendasar terhadap kaum muslimin dan eksistensi umat Islam.

TATA CARA PERKAWINAN DALAM ISLAM
Islam telah memberikan konsep yang jelas tentang tata cara perkawinan berlandaskan Al-Qur'an dan Sunnah yang Shahih (sesuai dengan pemahaman para Salafus Shalih -peny), secara singkat penulis sebutkan dan jelaskan seperlunya :

[1]. Khitbah (Peminangan)
Seorang muslim yang akan mengawini seorang muslimah hendaknya ia meminang terlebih dahulu, karena dimungkinkan ia sedang di pinang oleh orang lain, dalam hal ini Islam melarang seorang muslim meminang wanita yang sedang dipinang oleh orang lain (Muttafaq 'alaihi). Dalam khitbah disunnahkan melihat wajah yang akan dipinang (Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Abu Dawud, Tirmidzi No. 1093 dan Darimi).

[2]. Aqad Nikah
Dalam aqad nikah ada beberapa syarat dan kewajiban yang harus dipenuhi :

a. Adanya suka sama suka dari kedua calon mempelai.
b. Adanya Ijab Qabul.
c. Adanya Mahar.
d. Adanya Wali.
e. Adanya Saksi-saksi.

Dan menurut sunnah sebelum aqad nikah diadakan khutbah terlebih dahulu yang dinamakan Khutbatun Nikah atau Khutbatul Hajat.

[3]. Walimah
Walimatul 'urusy hukumnya wajib dan diusahakan sesederhana mungkin dan dalam walimah hendaknya diundang orang-orang miskin. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda tentang mengundang orang-orang kaya saja berarti makanan itu sejelek-jelek makanan.

Sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.

"Artinya : Makanan paling buruk adalah makanan dalam walimah yang hanya mengundang orang-orang kaya saja untuk makan, sedangkan orang-orang miskin tidak diundang. Barangsiapa yang tidak menghadiri undangan walimah, maka ia durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya". [Hadits Shahih Riwayat Muslim 4:154 dan Baihaqi 7:262 dari Abu Hurairah]

Sebagai catatan penting hendaknya yang diundang itu orang-orang shalih, baik kaya maupun miskin, karena ada sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam :

"Artinya : Janganlah kamu bergaul melainkan dengan orang-orang mukmin dan jangan makan makananmu melainkan orang-orang yang taqwa". [Hadist Shahih Riwayat Abu Dawud, Tirmidzi, Hakim 4:128 dan Ahmad 3:38 dari Abu Sa'id Al-Khudri].

SEBAGIAN PENYELEWENGAN YANG TERJADI DALAM PERKAWINAN YANG WAJIB DIHINDARKAN/DIHILANGKAN.

[1]. Pacaran
Kebanyakan orang sebelum melangsungkan perkawinan biasanya "Berpacaran" terlebih dahulu, hal ini biasanya dianggap sebagai masa perkenalan individu, atau masa penjajakan atau di anggap sebagai perwujudan rasa cinta kasih terhadap lawan jenisnya.

Adanya anggapan seperti ini, kemudian melahirkan konsesus bersama antar berbagai pihak untuk menganggap masa berpacaran sebagai sesuatu yang lumrah dan wajar-wajar saja. Anggapan seperti ini adalah anggapan yang salah dan keliru. Dalam berpacaran sudah pasti tidak bisa dihindarkan dari berintim-intim dua insan yang berlainan jenis, terjadi pandang memandang dan terjadi sentuh menyentuh, yang sudah jelas semuanya haram hukumnya menurut syari'at Islam.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

"Artinya : Jangan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang perempuan, melainkan si perempuan itu bersama mahramnya". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad, Bukhari dan Muslim].

Jadi dalam Islam tidak ada kesempatan untuk berpacaran dan berpacaran hukumnya haram.

[2]. Tukar Cincin.
Dalam peminangan biasanya ada tukar cincin sebagai tanda ikatan, hal ini bukan dari ajaran Islam. (Lihat Adabuz-Zifaf, Syaikh Nashiruddin Al-AlBani)

[3]. Menuntut Mahar Yang Tinggi.
Menurut Islam sebaik-baik mahar adalah yang murah dan mudah, tidak mempersulit atau mahal. Memang mahar itu hak wanita, tetapi Islam menyarankan agar mempermudah dan melarang menuntut mahar yang tinggi.

Adapun cerita teguran seorang wanita terhadap Umar bin Khattab yang membatasi mahar wanita, adalah cerita yang salah karena riwayat itu sangat lemah. [Lihat Irwa'ul Ghalil 6, hal. 347-348].

[4]. Mengikuti Upacara Adat.
Ajaran dan peraturan Islam harus lebih tinggi dari segalanya. Setiap acara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam, maka wajib untuk dihilangkan. Umumnya umat Islam dalam cara perkawinan selalu meninggikan dan menyanjung adat istiadat setempat, sehingga sunnah-sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yang benar dan shahih telah mereka matikan dan padamkan.

Sungguh sangat ironis...!. Kepada mereka yang masih menuhankan adat istiadat jahiliyah dan melecehkan konsep Islam, berarti mereka belum yakin kepada Islam.

Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman :

"Artinya : Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ?". [Al-Maaidah : 50]

Orang-orang yang mencari konsep, peraturan, dan tata cara selain Islam, maka semuanya tidak akan diterima oleh Allah dan kelak di Akhirat mereka akan menjadi orang-orang yang merugi, sebagaimana firman Allah Ta'ala :

"Artinya : Barangsiapa yang mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi". [Ali-Imran : 85].

[5]. Mengucapkan Ucapan Selamat Ala Kaum Jahiliyah.
Kaum jahiliyah selalu menggunakan kata-kata Birafa' Wal Banin, ketika mengucapkan selamat kepada kedua mempelai. Ucapan Birafa' Wal Banin (semoga mempelai murah rezeki dan banyak anak) dilarang oleh Islam.

Dari Al-Hasan, bahwa 'Aqil bin Abi Thalib nikah dengan seorang wanita dari Jasyam. Para tamu mengucapkan selamat dengan ucapan jahiliyah : Birafa' Wal Banin. 'Aqil bin Abi Thalib melarang mereka seraya berkata : "Janganlah kalian ucapkan demikian !. Karena Rasulullah shallallhu 'alaihi wa sallam melarang ucapan demikian". Para tamu bertanya :"Lalu apa yang harus kami ucapkan, wahai Abu Zaid ?". 'Aqil menjelaskan :

"Ucapkanlah : Barakallahu lakum wa Baraka 'Alaiykum" (Mudah-mudahan Allah memberi kalian keberkahan dan melimpahkan atas kalian keberkahan). Demikianlah ucapan yang diperintahkan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam". [Hadits Shahih Riwayat Ibnu Abi Syaibah, Darimi 2:134, Nasa'i, Ibnu Majah, Ahmad 3:451, dan lain-lain].

Do'a yang biasa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ucapkan kepada seorang mempelai ialah:

"Baarakallahu laka wa baarakaa 'alaiyka wa jama'a baiynakumaa fii khoir"

Do'a ini berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Abu Hurairah:

"Artinya : Dari Abu hurairah, bahwasanya Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam jika mengucapkan selamat kepada seorang mempelai, beliau mengucapkan do'a : (Baarakallahu laka wabaraka 'alaiyka wa jama'a baiynakuma fii khoir) Mudah-mudahan Allah memberimu keberkahan, Mudah-mudahan Allah mencurahkan keberkahan atasmu dan mudah-mudahan Dia mempersatukan kamu berdua dalam kebaikan". [Hadits Shahih Riwayat Ahmad 2:38, Tirmidzi, Darimi 2:134, Hakim 2:183, Ibnu Majah dan Baihaqi 7:148].

[6]. Adanya Ikhtilath.
Ikhtilath adalah bercampurnya laki-laki dan wanita hingga terjadi pandang memandang, sentuh menyentuh, jabat tangan antara laki-laki dan wanita. Menurut Islam antara mempelai laki-laki dan wanita harus dipisah, sehingga apa yang kita sebutkan di atas dapat dihindari semuanya.

[7]. Pelanggaran Lain.
Pelanggaran-pelanggaran lain yang sering dilakukan di antaranya adalah musik yang hingar bingar.

KHATIMAH
Rumah tangga yang ideal menurut ajaran Islam adalah rumah tangga yang diliputi Sakinah (ketentraman jiwa), Mawaddah (rasa cinta) dan Rahmah (kasih sayang), Allah berfirman :

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu hidup tentram bersamanya. Dan Dia (juga) telah menjadikan di antaramu (suami, istri) rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir".[Ar-Ruum : 21].

Dalam rumah tangga yang Islami, seorang suami dan istri harus saling memahami kekurangan dan kelebihannya, serta harus tahu pula hak dan kewajibannya serta memahami tugas dan fungsiya masing-masing yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.

Sehingga upaya untuk mewujudkan perkawinan dan rumah tangga yang mendapat keridla'an Allah dapat terealisir, akan tetapi mengingat kondisi manusia yang tidak bisa lepas dari kelemahan dan kekurangan, sementara ujian dan cobaan selalu mengiringi kehidupan manusia, maka tidak jarang pasangan yang sedianya hidup tenang, tentram dan bahagia mendadak dilanda "kemelut" perselisihan dan percekcokan.

Bila sudah diupayakan untuk damai sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Qur'an surat An-Nisaa : 34-35, tetapi masih juga gagal, maka Islam memberikan jalan terakhir, yaitu "perceraian".

Marilah kita berupaya untuk melakasanakan perkawinan secara Islam dan membina rumah tangga yang Islami, serta kita wajib meninggalkan aturan, tata cara, upacara dan adat istiadat yang bertentangan dengan Islam. Ajaran Islam-lah satu-satunya ajaran yang benar dan diridlai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala [Ali-Imran : 19]

"Artinya : Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami istri-istri dan keturunan yang menyejukkan hati kami, dan jadikanlah kami Imam bagi orang-orang yang bertaqwa". [Al-Furqan : 140].

Amiin.
Wallahu a'alam bish shawab.

[Disalin dari Majalah As-Sunnah Edisi 10-11/Th I/1415-1994. Diterbitkan Oleh Lajnah Istiqomah Surakarta, Alamat Gedung Umat Islam Lt II Kartopuran 241A Surakarta 57152]
Selengkapnya...

Selasa, 15 Juni 2010

KARENA SETIAP ORANG MENYIMPAN SETITIK KEBAIKAN DALAM JIWANYA


Tidak semua manusia dipilih oleh Allah untuk kembali ke jalan yang lurus dan mengenal manhaj yang benar. Maka saat Allah menuntun hidup kita untuk berjalan, berbuat, bekerja, berpikir, dan berbicara sesuai dengan manhaj salaf yang shalih; itu berarti ada nikmat yang tak terkira besarnya yang harus kita syukuri. Yah, karena –sadar atau tidak- sebenarnya kita telah menjadi pilihan-pilihan Allah di bumi. Di saat banyak saudara-saudari muslim kita yang sadar untuk memperjuangkan Islam dengan manhaj apa saja, kita disadarkan oleh Allah bahwa “Generasi akhir ummat ini tidak akan menjadi generasi yang shaleh dan jaya kecuali dengan jalan yang ditempuh oleh generasi awalnya” (La yashluhu akhiru hadzihil ummah illa bima shaluha bihi awwaluha).
Dampaknya, kita merasakan keizzahan yang luar biasa dahsyatnya dalam diri kita. Kita bangga berpenampilan sebagai salah seorang ikhwan. Kita merasa mulia saat mewujud sebagai salah satu bagian dari komunitas akhawat. Salahkah? Sampai di sini mungkin tidak ada masalah. Hanya saja seringkali keizzahan itu melanggar batas-batas yang semestinya. Keizzahan itu seringkali menyeret kita menjadi merasa shaleh sendiri dan memandang rendah orang lain yang berada di luar komunitas keshalehan kita. Mungkin tidak terungkapkan dengan kata-kata, tapi ia bersembunyi dalam gerakan-gerakan hati kita. Bahkan lebih parah lagi, obsesi keshalehan kita yang begitu tinggi membuat kita memandang orang lain “yang belum shaleh” sebagai makhluk-makhluk yang sudah tidak punya harapan lagi. Kita sering menjadi “buta” tiba-tiba hingga tidak lagi melihat ada celah buat mereka untuk kembali. Kita lupa, bahwa setiap orang sesungguhnya punya setitik kebaikan itu dalam dirinya…

* * *
Izinkanlah saya untuk mengutip kisah yang sungguh-sungguh menggugah saya tentang hal ini. Sebuah kisah yang benar-benar menampar kesombongan kita yang bersembunyi di balik keshalehan lahiriah kita. Kisah ini sendiri adalah kisah nyata seorang ulama Ahlussunnah, Syekh Ahmad bin Abdurrahman Ash-Shuwayyan, yang diungkapnya dalam buku berjudul Fi al-Bina’ al-Da’wy. Kisahnya sebagai berikut…
* * *
Hari itu saya kembali dari sebuah perjalanan yang panjang. Dan di pesawat, Allah menakdirkan saya untuk duduk di samping sekelompok pemuda yang nampaknya senang sekali berfoya-foya dan berhura-hura. Tawa mereka sangat keras. Dan kegaduhan mereka pun semakin lama semakin menjadi-jadi. Kabin pesawat pun dengan cepat menjadi ruangan yang dipenuhi asap rokok mereka. Dan tampaknya sudah menjadi hikmah Allah bahwa pesawat itu benar-benar penuh, hingga tidak memungkinkan bagi saya untuk mencari tempat duduk lain.
Saya berusaha keras untuk lari dari ‘kesempitan’ ini dengan tidur. Tapi, mustahil dan sangat mustahil saya bisa tidur dalam suasana seperti itu. Maka ketika kegaduhan itu semakin membuat kejengkelan saya memuncak, saya pun mengeluarkan mushaf al-Qur’an, lalu membacanya dengan suara yang rendah. Ternyata, tidak lama kemudian sebagian dari anak-anak muda itupun mulai tenang. Sementara sebagian yang lain mulai membaca surat kabar, dan adapula yang mulai tidur dengan lelap.
Namun, tiba-tiba, salah seorang dari mereka berbicara dengan suara keras –dan ia duduk tepat di samping saya!- : “Cukup!…Cukup!”
Saya menduga suara saya terlalu keras hingga mengganggunya. Saya meminta maaf padanya. Saya pun kembali melanjutkan bacaan saya dengan suara yang membisik hingga hanya saya sendirilah yang mendengarnya. Tapi saya lihat ia menutupi kepalanya dengan kedua tangannya. Duduknya gelisah. Tidak pernah diam dan terus bergerak. Hingga ia kemudian mengangkat kepalanya dan berkata dengan penuh emosi: “Tolong! Cukuplah sudah! Cukup! Saya sudah tidak bisa bersabar lagi!”
Ia kemudian berdiri dari tempat duduknya, lalu menghilang selama beberapa lama. Tidak lama kemudian ia kembali lagi, mengucapkan salam kepada saya sembari meminta maaf. Ia terdiam. Dan saya tidak tahu apa sebenarnya yang telah terjadi. Tapi sejenak kemudian ia menoleh pada saya, dan matanya basah oleh air mata. Ia berkata sambil berbisik: “Tiga tahun lamanya, bahkan lebih…Aku tak pernah meletakkan keningku di tanah…Aku tak pernah membaca satu ayat pun! Dan…satu bulan penuh ini aku habiskan dalam perjalanan ini…tidak satupun kemaksiatan yang tidak kukerjakan. Hingga aku pun melihatmu membaca al-Qur’an…Tiba-tiba saja dunia menjadi gelap di hadapanku…dadaku sesak…Aku merasa seperti tercekik. Iya, aku merasakan setiap ayat yang engkau baca menhantam tubuhku bagai cambuk..! Aku berkata pada diriku sendiri: Sampai kapan kelalaian ini?! Kemana aku akan berjalan di jalan ini?! Lalu apa setelah semua kelalaian dan kesenangan ini?! Hingga aku pun segera lari ke kamar kecil. Anda tahu kenapa?! Karena aku merasa sangat ingin menangis. Dan aku tidak menemukan tempat sembunyi dari pandangan orang lain selain di tempat itu!!”
Demikian ia berbicara padaku…Aku pun menyampaikan kalimat-kalimat seputar taubat dan kembali pada Allah…Dan ia pun terdiam.
Ketika pesawat mendarat di bumi, pemuda itu menghentikanku. Nampak sekali ia ingin menjauh dari teman-temannya. Ia bertanya padaku, dan wajahnya menampakkan air muka yang sangat serius: “Menurut Anda, apakah Allah masih berkenan menerima taubatku?”
Aku berkata padanya: “Jika engkau jujur dan sungguh-sungguh ingin kembali pada Allah, maka Allah akan mengampuni dosa apapun.”
“Tapi aku telah melakukan terlalu banyak dosa…dosa-dosa yang begitu besar…,” ujarnya.
“Apakah engkau pernah mendengar firman Allah: “Katakanlah: Wahai hamba-hambaKu yang telah melampaui batas atas diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni semua dosa. Sesungguhnya Dia Mahapengampun lagi Mahapengasih.” (Az-Zumar:53)??” ujarku.
Kulihat wajahnya tersenyum penuh kebahagiaan. Kedua matanya berkaca dipenuhi air mata. Ia lalu mengucapkan selamat tinggal, dan pergi berlalu…
Maha suci Allah yang Mahaagung!

Begitulah manusia. Sejauh dan setinggi apapun kedurhakaan yang telah ia lalui dan daki, tapi selalu saja ada celah kebaikan dalam jiwanya. Andai saja kita dapat berusaha sampai ke sana, lalu menyianginya dengan cinta, ia akan tumbuh dengan izin Allah.

* * *
Membaca kisah ini, membuat kita harus melihat ulang rasa izzah akan keikhwanan dan keakhawatan kita. Karena saat izzah itu menjelma menjadi kesombongan, ia tidak lagi perlu dibanggakan. Kebanggaan semacam itu hanya membuat kita meremehkan manusia lain, yang boleh jadi saat hidayah Allah bersemayam di hatinya, ia akan menjejakkan kakinya di surga terlebih dulu dibanding kita. “Izzah” seperti itu hanya akan menyebabkan kita menjadi penghalang manusia untuk meraih hidayah Allah. Wallahul musta’an.

Penulis: Muhammad Ihsan Zainuddin
Cipinang Muara, 24 Shafar 1426/24 Maret 2006
[http://abulmiqdad.blogspot.com/]
Selengkapnya...