Rabu, 05 Mei 2010

Semangat Pemuda


Wahai Pemuda, Jangan Layu Sebelum Berbuah!
Sering di usia produktif, dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar

SEMUA manusia di dunia ini secara fisik tunduk kepada fenomena penciptaan-Nya. Ia akan meniti fase shobi (bayi), thifl (balita), murahiq (pemuda), kuhulah (dewasa), dan syaikh (tua). Makhluk-makhluk-Nya itu selalu bertasbih kepada Allah Swt dengan bahasanya sendiri. Tetapi, usia paling menentukan arah kehidupan seseorang adalah fase murahaqa (puber) dan kuhulah (produktif) antara usia 15-35 tahun.

Ada sebuah ungkapan ahli hikmah: “Siapa yang tumbuh, berkembang pada masa mudanya di atas, akhlak, orientasi (ittijah), kepribadian (syakhshiyyah), karakter, bakat (syakilah) khusus, maka rambutnya akan memutih (al masyiibu) dalam keadaan ia memiliki tradisi (daabu), akhlak seperti itu.”

Ahli sastra Arab dahulu pernah menjelaskan impian orang tua yang ingin kembali pada masa muda. Tetapi, itu suatu kemustahilan.

اَلاَ لَيْتَ الشَّباَب يَعْود يَوماً . سأُخْبِره بِماَ فَعَلَ الْمَشيْب

“Alangkah indahnya jika masa muda kembali lagi hari ini. Aku akan memberitahukan kepada khalayak (ramai) tentang apa yang dilakukan oleh orang yang sudah pikun dan beruban”.

Marilah kita hitung usia produktif dalam logika kehidupan manusia.

Umumnya umat Rasulullah Saw berusia antara 60-70 tahun (HR. Ahmad). Seumpama kita ditakdirkan berumur 63 tahun seperti uswah, qudwah (panutan) kita, 13 tahun pertama tentu tidak masuk perhitungan, berarti tidak bisa kita nilai. Kita belum baligh. Jadi, usia kita yang bisa dihitung 47 tahun.

Jika dalam sehari tidur belasan jam. Yang tersisa setiap hari 2/3. Tinggallah seputar 16 jam. Dalam aktivitas tidur tersebut tidak ada catatan amal. Untuk ukuran ini saja, dari 47 tahun, yang tertinggal 2/3-nya.

Lantas, sebagian besar ke mana? Orang itu produktif pada usia puber atau pada usia tua? Pertanyaan itu perlu kita jawab secara serius. Supaya aktivitas kita bisa dihisab oleh Allah Swt.

Semakin sering kita berhasil menghadapi godaan pada usia muda, seperti itulah ending kita pada masa tua (syaikhukhah). Sebaliknya, semakin sering kita kalah dalam mengantisipasi ujian, seperti itulah akhir kehidupan kita. Pertarungan yang paling berat dan keras adalah pada usia muda. Kalau diibaratkan seperti matahari, maka usia muda adalah ketika sinar matahari berada persis di tengah-tengah kita. Betapa teriknya pada siang bolong itu.

Itulah sebabnya Allah Swt memberikan penghargaan kepada pemuda yang tumbuh dalam keadaan beribadah kepada Allah Swt (syaabun nasya-a fi ‘ibadatillah). Bahkan Allah Swt memberikan perlindungan di padang Mahsyar, ketika tiada naungan kecuali naungan-Nya. Karena pada usia produktif tersebut dorongan kuat untuk beramal saleh berbanding lurus dengan dorongan melanggar. Maka, mengelola masa muda agar tunduk kepada karakter keagamaan merupakan perjuangan yang berliku, licin, dan mendaki. Hanya pemuda yang mendapat rahmat dari-Nya yang berhasil melewati godaan.

أَللَّهُمَّ اجْعَلْ خَيْرَ عُمْرِيْ أَخِرَهُ وَ خَيْرَ عَمَلِيْ خَوَاتِيْمَهُ وَ خَيْرَ أَيَّامِيْ يَوْمَ أَلْقاَكَ فِيْهِ


“Ya Allah, jadikanlah usiaku yang paling baik adalah pada penghujungnya, dan amalku yang terbaik adalah pungkasannya, dan hari-hariku yang terbaik adalah hari-hari saya bertemu dengan-MU.” [al Hadits].

Secara sunnatullah keberhasilan masa tua kita ditentukan oleh perjuangan yang tak kenal menyerah di masa muda. Keberhasilan mustahil diperoleh dengan gratis (majjanan), tanpa melewati proses ujian. Ibarat anak sekolah, untuk naik kelas harus mengikuti ujian. Jika kita kurang terampil mengelola masa muda dengan menggali potensi thalabul ‘ilmi (ijtihad), taqarrub ilallah (mujahadah), jihad fii sabilillah (jihad), secara maksimal kelak akan kita pertanggungjawabkan di Mahkamah Ilahi (‘an syabaabihi fiimaa ablaahu).

Ali bin Abi Thalib mengatakan:

مَنْ ساَءَ خُلُقُهُ عَذَّبَ نَفْسَهُ

“Barangsiapa jelek akhlaknya (ketika pemuda), ia akan tersiksa ketika tua.”

Mengikuti Siklus Ibadah

Mengapa kita perlu shalat lima waktu sehari semalam. Kita ibarat membuat kolam renang di depan rumah, setiap kali azan berkumandang kita segera membersihkan lumpur yang menempel dalam diri kita. Sehingga tidak tersisa sisi gelap dalam pikiran dan hati kita, demikianlah sabda Rasulullah Saw.

demikian sabda Nabi.

Allah Swt membuat perencanaan ibadah, agar kita selalu terjaga. Ibadah yaumiyyah, harian (shalat lima waktu), usbuiyyah, mingguan (shalat Jum’at, puasa Senin Kamis, puasa tiga hari dalam sebulan), syahriyyah, bulanan (puasa Ramadan), sanawiyyah, tahunan (shalat idul fithr dan idul qurban), marrotan fil umr, sekali seumur hidup (ibadah haji ke Baitullah).

Maka, kita perlu membuat standarisasi dalam beribadah. Ada empat kegiatan ubudiyah yang perlu kita lakukan dengan istiqomah (konsisten) dan mudawamah wal istimror (secara berkesinambungan).

Pertama : Shalat fardhu secara berjamaah di masjid

Kedua : Shalat sunnah rawatib ba’diyah dan qabliyah

Ketiga : Membaca al Quran satu juz sehari

Keempat : Ditambah dengan ibadah bulanan

Muhasabah : Seminggu sekali

Ibadah harian yang perlu dipertahankan untuk menjaga stamina ritme spiritual. Ibadah wajib kita lakukan untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt (taqarrub). Ibadah sunnah kita lakukan, untuk membangun kecintaan secara timbal balik antara kita dengan Allah Swt. Jika kita sudah dicintai, aktifitas kita merupakan jelmaan dari kehendak-kehendak-Nya.

Supaya kita dekat dengan diri kita sendiri, kita perlu muhasabah usbuiyyah (intropeksi mingguan). Hati kita mengalami gerakan yang tidak berhenti. Dan itu harus selalu dikontrol. Jika kita sudah mencapai kenaikan grafik amal, dan kekurangan kita bisa kita hitung. Berarti kita dalam posisi ideal. Terjaga dari dosa, hanya Rasulullah Saw.

Bangkit Dari Keterpurukan

Jika kita terjatuh melakukan dosa, kita segera bangkit. Setiap langkah menuju dosa harus kita persempit ruangnya. Karena, dosa kecil yang kita remehkan, akan mengajak kepada dosa-dosa kecil berikutnya. Dosa itu beranak pinak, berkembang biak.

Langkah-langkah untuk bangkit, sebagai berikut:

Pertama: Istighfar (memohon ampun kepada Allah Swt). Bukan sekedar memperbanyak istighfar, sekalipun itu berpahala. Yang paling penting adalah dengan istighfar kita selalu menyadari seharusnya makin hari kekurangan, bau tidak sedap dalam diri kita semakin tertutupi (hilang).

Kedua, beramal. Setiap kali melakukan kejahatan, susullah dengan amal saleh. (ittaqillah haitsumaa kunta wa atbi’issayyiata al hasanata tamhuhaa). Kebaikan itu bisa menghapus dosa. Jika kita senang melakukan satu kebaikan, akan mengajak kepada kebaikan berikutnya. Misalnya, jika kita suka ke masjid, maka dengan sendirinya kita akan termotivasi untuk melakukan berbagai amal saleh di situ. Sholat fardhu, sholat sunnah, membaca Al-Quran, zikir dll.

Rasulullah Saw bersabda : “Jika engkau melihat seorang laki-laki terbiasa ke masjid, saksikanlah sesungguhnya ia seorang beriman.” [al Hadits].

Demikian pula jika kita senang melangkahkan kaki menuju ke tempat maksiat, maka akan mengerakkan untuk berbuat dosa berikutnya.

Jika kita sedang bersemangat dalam beribadah, lakukanlah sebanyak mungkin yang Anda mampu. Jika grafik ibadah menurun, minimal pertahankan yang wajib. Hati kita elastis, fluktuatif. Kita memiliki saat maju dan saat mundur. Dengan cara di atas kita bisa mengelola naik turunnya hati kita dengan baik.

Terakhir: Berdoa kepada Allah Saw, semoga kita tetap teguh dalam agama-Nya. Ya muqollibal qulub tsabbit qolbii ‘alaa diinik (Wahai Yang Membolak Balikkan hati, tetapkanlah hatiku diatas agama-MU).

Penutup, wahai para pemuda, ingatlah falsafah pohon pisang. “Janganlah mati sebelum berbuah.”
[Abu Hilyatil Auliyah Hadziqoh/www.hidayatullah.com]
Selengkapnya...

Fatwa Muhammadiyah


Bunga Bank Haram, Mengapa Tidak?


Secara mengejutkan pada Munas ke-27 Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Universitas Muhammadiyah Malang, Sabtu (3/4) lalu, Muhammadiyah mengeluarkan fatwa tentang keharaman bunga bank. Kalau pada tahun 1990 lalu Muhammadiyah juga mengharamkan bunga bank tetapi hanya khusus bank swasta, namun kali ini baik bank swasta maupun bank pemerintah semuanya haram.

Padahal sebelumnya Muhammadiyah telah mengeluarkan fatwa tentang keharamannya merokok, yang dinilai kontroversial terutama oleh para petani tembakau dan buruh rokok yang mayoritas umat Islam. Mereka beranggapan, jika rokok haram dan pabrik-pabrik rokok ditutup, terus mereka akan bekerja dimana atau hanya menjadi pengangguran.

Memang sebelumnya tahun 2003 lalu Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah mengeluarkan fatwa bunga bank haram. Dampak dari fatwa haram MUI ini sampai sekarang belum terasa secara signifikan. Pasalnya, umat Islam Indonesia yang mayoritas tetap menyimpan fulusnya di bank konvensional yang menggunakan sistem bunga, mereka belum bersedia mengalihkan dananya secara besar-besaran ke bank syariah yang menggunakan sistem bagi hasil (mudharabah). Maka tidaklah mengherankan jika hingga sekarang kontribusi bank syariah dalam perekonomian nasional tetaplah kecil hanya 3 persen, sementara sisanya 97 persen masih dikuasai perbankan konvensional yang menggunakan sistem bunga (riba).

Namun bagaimanapun, perbankan syariah tetap diuntungkan dengan keluarnya fatwa bunga bank haram dari Muhammadiyah tersebut. Menginggat organisasi Islam modern terbesar di dunia itu memiliki aset ratusan triliunan rupiah, termasuk hampir 100 perguruan tinggi di lingkungan Muhammadiyah, 12.000 sekolah sejak dari TK hingga SMA, termasuk ratusan rumah sakit dan dan panti asuhan serta tanah-tanah wakaf yang tersebar di seluruh Indonesia. Dengan demikian, jika nantinya ratusan triliun aset Muhammadiyah tersebut dialihkan ke bank syariah, niscaya pangsa pasar bank syariah pasti akan terdongkrak. Kalau sekarang hanya 3 persen dengan total aset sebesar Rp 80 triliun, nantinya bisa menjadi minimal 10 persen atau Rp 250 triliun lebih.

Apalagi saat ini rakyat Indonesia yang mayoritas Islam semakin mengetahui, kalau penguasaan asing di sektor keuangan terutama bank konvensional yang menyangkut kapasitas dan aset perbankan nasional sangatlah besar, hingga mencapai 55 persen atau Rp 1100 triliun. Namun anehnya, pemerintah sengaja tidak membatasi atau membiarkan kepemilikan asing di sektor perbankan, padahal negara-negara lain justru membatasinya.

Hal itu jelas berdampak pada pembuat kebijakan dan industri keuangan sulit mendorong penurunan kredit yang sangat diperlukan rakyat kecil, sementara bunga bank juga sulit diturunkan sebagai dampak dominasi asing tersebut. Selain itu menjadikan beberapa kebijakan BI tidak efektif mendorong pertumbuhan dan kepemilikan investor lokal.

Dengan tingginya bunga bank konvensional saat ini yang mencapai 10 persen, sementara bunga kredit konsumsi dan UMKM mencapai 16 persen yang menyebabkan para pengusaha kecil berfikir dua kali jika ingin memperoleh pinjaman, diharapkan akan menjadikan mereka beralih ke perbankan syariah, lembaga keuangan syariah atau ribuan baitul mal wa tamwil (BMT) yang tersebar di seluruh Indonesia. Pendirian BMT memang dimaksudkan untuk menolong para pengusaha kecil untuk berkembang tanpa dihantui oleh tingginya bunga bank konvensional. Pasalnya, BMT juga menggunakan sistem bagi hasil sebagaimana bank syariah.

Pro Kontra

Meski sudah jelas keharaman riba (bunga bank) yang terdapat dalam beberapa ayat Al Qur’an, namun perdebatan soal bunga bank masih sering terjadi. Mereka yang berpendapat bunga bank diperbolahkan, mengacu pada pemerintah Arab Saudi yang bertanggungjawab terhadap dua tempat suci di Makkah dan Madinah, ternyata masih membolehkan bank konvensional yang mengacu pada sistem perbankan internasional, beroperasi disamping bank syariah. Bahkan tidak hanya Arab Saudi yang menerapkan syariah Islam, hampir di seluruh negara Islam di Timur Tengah, bank konvensioanal tetap diperbolehkan beroperasi yang berdampingan dengan bank syariah.

Sedangkan di Indonesia, NU sebagai organisasi Islam tradisionil terbesar di dunia masih menganggap bunga bank haram adalah persoalan khilafiyah dan furuiyah, bukan persoalan prinsip. Hal itu mengacu pada hasil keputusan Muktamar NU ke -28 di Pondok Pesantren Krapyak Jogjakarta (1989). Menurut para ulama NU, ada tiga pendapat mengenai bunga bank. Pertama, bunga bank haram karena ada unsur spekulasi. Kedua, bunga bank halal karena adanya kesepakatan diantara kedua pihak dan dilakukan dengan kerelaan hati dan tanpa paksaan. Ketiga, bunga bank syubhat karena tidak jelas halal dan haramnya.

Konsisten
Sebenarnya jika dibandingkan para ulama yang mengharamkan dan menghalalkan bunga bank, jelas lebih banyak ulama yang mengharamkannya. Pasalnya, bunga bank jelas termasuk kategori riba yang diharamkan Islam, karena sudah jelas dalilnya dalam Al Qur’an (Surat Al Baqoroh Ayat 275-279, Surat Ali Imran Ayat 130, Surat An Nisa’ Ayat 161) serta beberapa Hadis Nabi Muhammad SAW.

Apalagi sejarah pendirian perbankan modern dunia, dimulai dari dua orang Yahudi bersaudara yang mendirikan bank pertama kali di Inggris yang dinamakan Bank of England pada abad ke 18 M. Sejak itulah bank dengan sistem riba berkembang di seluruh dunia hingga sekarang ini. Memang sejak dulu orang Yahudi dikenal suka makan hasil ribawi dengan model rentenir yang menyengsarakan orang banyak.

Sekarang yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana sikap umat Islam Indonesia setelah keluarnya Fatwa MUI dan Muhammadiyah yang mengharamkan bunga bank ?
Pertama, umat Islam harus konsisten untuk menyimpan fulusnya di berbagai bank syariah dan lembaga keuangan syariah yang saat ini sudah tersebar di seluruh Indonesia yang menggunakan sistem mudharabah atau bagi hasil.

Kedua, jika ingin memperoleh kredit untuk usaha, umat Islam harus mendapatkannya dari perbankan syariah atau lembaga keuangan syariah.
Ketiga, ormas-orms Islam harus konsisten, dimana wajib menaruh dananya dan memperoleh kredit dari perbankan syariah, jangan sampai dari perbankan konvensional.

Keempat, karena bunga bank dikaregorikan riba dan haram, jelas lebih banyak mudharatnya, sementara manfaatnya sama sekali tidak ada. Bahkan riba akan menjerumuskan pelakunya ke dalam siksaan di neraka kelak.

Kelima, dalam sejarahnya, bunga bank selalu menjadi penyebab timbulnya krisis ekonomi dan keuangan dunia seperti tahun 1930, 1997 dan terakhir tahun 2008 lalu. Dengan demikian, umat Islam harus bertekad mengganti sistem bunga bank yang dipelopori kaum Kapitalis dan Neoliberalis yang membuat kebangkrutan dengan sistem ekonomi syariah yang lebih mensejahterakan umat manusia, apalagi sesuai dengan Al Qur’an dan Hadis. (Abdul Halim)

Sumber
http://www.suara-islam.com
Selengkapnya...